Sabtu, 17 Juli 2010

Sesuatu Dari Polemik Abdoel Moeis dan Semaoen di Tubuh Sarekat Islam










Oleh: Busyra Q. Yoga


Sarekat Islam (SI) dapat dikatakan merupakan gerakan politik Islam modern pertama di Indonesia. Didirikan di Solo oleh H. Samanhoedhi pada tanggal 11 November 1912, Sarekat Islam tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya bernama Sarekat Dagang Islam yang berdiri setahun sebelumnya. Tidak jelas kapan persis waktu kejadiannya, Deliar Noer di dalam bukunya “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” mencatat, bahwa H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) telah bergabung ke dalam SI atas permintaan H. Samanhoedi sendiri, yaitu pada awal-awal tahun berdirinya, yang sekaligus juga ditunjuk sebagai Ketua SI Surabaya.

Di tahun 1912 itu pula, H.O.S. Tjokroaminoto yang berpikiran jauh ke depan, mengirimkan utusannya ke Bandung untuk meminta beberapa tokoh di sana bergabung untuk membesarkan SI. Termasuk di antaranya adalah Abdul Moeis (1884-1959), seorang pujangga dan jurnalis yang berpikiran progresif. Adapun Semaoen (1899-1971), yang banyak dipengaruhi oleh paham marxisme, mulai bergabung pada SI cabang Surabaya di tahun 1914. Kemudian ia pindah ke Semarang dalam tahun 1915, dan berhasil mengambil alih kepemimpinan SI Semarang.

Dalam upaya menyiasati sikap pemerintah kolonial Belanda yang tak hendak mengakui keberadaan organisasi kaum pergerakan yang bersifat nasional, dalam suatu pertemuan di Yogyakarta pada 18 Februari 1914, dibentuklah Central Sarekat Islam (CSI) yang dimaksudkan sebagai “induk” dari SI-SI lokal. H.O.S. Tjokroaminoto ditunjuk sebagai Ketua dan H. Samanhoedi sebagai Ketua Kehormatan. Sejak itu pula sejarah mencatat kiprah Tjokroaminoto sebagai tokoh paling sentral di dalam membesarkan SI dan menjadikan SI sebagai organisasi politik kaum pribumi yang modern dan disegani pada masanya.

Di dalam kongres ke 3 Central Sarekat Islam (29 September – 6 Oktober 1918), di Surabaya, pertentangan antara Semaoen (SI Semarang) dengan Abdul Moeis (Wakil Presiden CSI) yang telah mencuat sejak kongres ke 2 di Jakarta (Oktober 1917) kembali merebak kepermukaan. Kongres berlangsung tegang. Abdul Moeis yang pada kongres ke 2 diserang dengan gencar sekali oleh pihak Semaoen, di mana konsep-konsep pemikiran Semaoen lebih banyak diterima dan diadopsi oleh partai, pada kongres ke 3 ini berusaha sekuat tenaga untuk membalasnya. Akhirnya pertentangan dapat diselesaikan melalui rapat pimpinan tertutup, yaitu dengan masing-masing pihak membuat pernyataan tertulis yang memuat kesedian masing-masing untuk menjaga keutuhan azas partai dan tidak membawa persoalan internal partai ke publik. Meski dapat diselesaikan (sementara), tak pelak saat itu pula benih perpecahan pada organisasi politik nasional terbesar itu telah mulai disemai.

Soe Hok Gie di dalam bukunya Di Bawah Lentera Merah (Yayasan Bentang Budaya, 1999), mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal perseteruan keduanya. Yang pertama adalah soal agama. Bagi kelompok Moeis, agar agama Islam diperkembangkan melalui partai. Sementara bagi Semaoen, cukuplah agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Yang kedua adalah soal nasionalisme. Kelompok Moeis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya. Sementara kelompok Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang terpokok. Yang ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat bahwa untuk memeperoleh kemerdekaan diperlukan dana untuk perjuangan. Bagi kelompok Moeis modal boleh dimiliki oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.

Problematika Posisi Agama Dalam Partai Politik

Mungkin cukup mudah bagi kita untuk memahami sikap Moeis yang bersikeras mempertahankan posisi agama (Islam) pada posisinya yang sentral di dalam SI. Moeis yang lebih dahulu bergabung dengan SI dibandingkan Semaoen, tentunya sangat memahami latar belakang sejarah SI dan motivasi para pendirinya di dalam membangun organisasi, yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi besar itu. Dalam posisinya sebagai Wakil Ketua CSI, Moeis yang memang punya latar belakang agama yang kuat, kemungkinan besar merasa punya tanggungjawab moril untuk menjaga dan melestarikan azas partai yang telah dibangun dari sejak awal berdirinya. Dalam argumen-argumen yang diajukannya dalam mempertahankan sikapnya, tidak terlihat Moeis menguasai pandangan agamanya secara mendalam.

Sementara itu Semaoen, yang bergabung dengan SI setahun lebih belakangan dari Moeis, namun tumbuh cepat dan menjadi besar di lingkungan SI Semarang, tidak merasa punya ikatan yang kuat dengan azas partai. Bagi Semaoen, yang kebetulan juga berusia jauh lebih muda dari pada Moeis, progresifitas partai dalam memperjuangkan kemerdekaan adalah jauh lebih penting ketimbang perluasan pengaruh agama di dalam masyarakat melalui partai. Sikap ini jelas-jelas ditunjukkannya dalam penolakannya yang keras terhadap keberadaan Volksraad (Dewan Rakyat) dan Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia), yang digagas dan ditawarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini hampir bisa dipastikan juga, pandangan-pandangan Semaoen tentang Marxisme belum terlalu mendalam. Setidaknya sampai tahun 1920 an, dimana hubungan dengan pihak luar – khususnya Rusia, belum begitu intens, paham Marxisme di Indonesia belum begitu dikenal.

Jika kita tarik benang merah antara persoalan posisi/kedudukan agama di dalam tubuh Sarekat Islam saat itu, dengan persoalan-persoalan kepartaian kita saat ini, maka penulis beranggapan bahwa persoalan tersebut masih cukup relevan untuk dipersoalkan lagi dalam ranah persoalan politik kontemporer negeri ini. Terutama mengingat minimnya wacana-wacana ideologis di dalam paradigma politik kita saat ini, terkait dengan semakin merebaknya paham “kebangsaan palsu” (pseudo nationalism) dalam praktik kepartaian kita saat ini.

Paham “kebangsaan palsu” adalah istilah yang coba penulis tawarkan. Penulis tidak tahu apakah sebelumnya sudah ada yang memakai istilah ini, tetapi yang penulis maksudkan dengan istilah tersebut adalah, gambaran terhadap suatu kecenderungan baru di dalam praktik-praktik kepartaian kita saat ini, yaitu kecenderung untuk mengatas namakan paham “kebangsaan” dalam praktik kepartaiannya. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, kecenderungan itu sebetulnya hanya sekedar cara menutupi ketidakmampuan mereka (elit-elit partai) di dalam merumuskan gagasan serta visi dan misi partai secara kongkrit dan rasional. Biasanya dalih yang dipakai adalah: untuk meraih dukungan yang lebih luas dari masyarakat. Dan, tentunya juga: untuk menjadi “partai yang terbuka”. Padahal lagi, dengan kondisi ini, partai kemudian menjadi terlihat lebih tidak rasional lagi.

Jadi, kalau diringkas saja polemik Moeis dan Semaoen dalam persoalan posisi agama (Islam) di tubuh partai, dengan mengabaikan sementara ditel-ditel persoalannya, maka ada dua buah pertanyaan bisa kita ajukan kepada diri kita saat ini. Pertama, apakah dengan tetapnya agama (Islam) sebagai azas partai, sebagaimana yang dipertahankan oleh Moeis saat itu, bisa dianggap sebagai penghambat bagi tumbuhnya progresifitas di tubuh partai dan menghalangi partai untuk tumbuh menjadi besar? Kedua, apakah dengan diterimanya marxisme (sosialisme?) di tubuh partai berbasis agama (Islam), sebagaimana dikehendaki oleh Semaoen ketika itu, bisa pula dipastikan bahwa Islam akan tercemar dan kehilangan kesuciannya?

Jawaban dari kedua pertanyaan ini tentunya tidaklah sederhana. Agaknya tidak ada jawaban yang cukup ringkas untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, yang sekaligus mampu mengelaborasi seluruh persoalan yang melingkupinya. Karena itu, dalam tulisan ini, penulis hanya bermaksud mengajukan beberapa hipotesa awal, dari kemungkinan jawaban yang lebih komprehensif atas persoalan tersebut.

Pertama: Islam Adalah Agama Yang Progresif.

Jika progresifitas diartikan sebagai keinginan atau kehendak untuk maju, atau keinginan untuk merobah keadaan yang tidak baik menjadi lebih baik, maka Islam adalah agama yang sangat menganjurkan penganutnya untuk berlomba-lomba meraih kemajuan. Dengan menempatkan kekuasaan (politik) pada Dzat yang immanent (gaib), yaitu Allah SWT, maka Islam sebetulnya telah menghindarkan dirinya dari persoalan-persoalan perebutan kekuasaan di antara sesama manusia. Jadi tujuan politik (berpolitik) bagi Islam tidaklah semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan. Tujuan politik bagi Islam pada hakekatnya adalah menegakkan kebenaran yang mutlak milik Allah SWT, agar berdiri di atas kebenaran relative milik manusia.

Dengan menempatkan tujuan politik yang seperti itu, secara teoritis Islam sebetulnya telah menempatkan tujuan berdirinya sebuah negara lebih rasional dibandingkan teori politik manapun. Umumnya teori tentang negara, mulai dari Hobbes hingga Kranenburg, beranggapan bahwa negara terbentuk adalah atas kehendak bersama manusia dalam upayanya mewujudkan kehendak bersama manusia itu sendiri. Karena negara sendiri adalah abstrak, maka haruslah dipersonifikasikan ke dalam badan-badan yang melaksanakan fungsi-fungsi kenegaraan, yang mengharuskan terjadinya penyerahan kedaulatan (sebagian atau seluruhnya) oleh satu pihak kepada pihak lainnya. Lalu terciptalah subjek dan objek kekuasaan, di mana ada satu pihak yang berkuasa dan ada satu pihak lainnya yang dikuasai. Inilah irasionalitas itu.

Tujuan berdirinya negara menurut teori politik Islam mungkin lebih pas jika dipadankan dengan teori Plato mengenai “negara ideal”. Jika menurut Islam tujuan negara adalah “dakwah” (dalam pengertiannya yang luas), maka menurut Plato tujuan negara adalah “pengajaran”, yaitu mengajarkan kepada manusia untuk mengenali dunia idea. Hanya bedanya, jika pandangan Plato lebih mengarah kepada terbentuk negara teokrasi, karena pemahaman yang prima terhadap dunia idea merupakan monopoli kalangan tertentu (para filosof), maka teori politik Islam lebih mengarah kepada negara demokrasi. Karena Islam pada hakekatnya tidaklah mengenal monopoli kebenaran oleh satu pihak tertentu di dalam masyarakat. Terutama jika menilik kepada pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan pemikir politik Islam sesudahnya, seperti Hasan al-Banna dan Yusuf Qardhawy.

Kedua: Marxisme dan Islam

Kritik Marx terhadap agama, agaknya memang tidak secara spesifik ditujukan kepada Islam. Selain dari pada itu, kebencian Marx terhadap agama sejatinya lebih banyak didorong oleh peranan institusional agama-agama di dalam masyarakat, yang pada masanya (mungkin juga masa sekarang?) lebih banyak mendukung kekuasaan kaum borjuis. Yaitu dengan menjadikan agama sebagai candu bagi masyarakat. Di dalam Manifesto Komunis Marx dan Engels mengatakan: “Undang-undang moral, agama, baginya adalah sama dengan segala prasangka borjuis, yang di belakangnya bersembunyi segala macam kepentingan-kepentingan borjuis”.

Bagi marxisme, peranan agama di dalam masyarakat yang “seakan-akan” membela kaum tertindas, adalah merupakan penghambat yang potensial bagi terbentuknya antagonisme kelas tertindas itu sendiri. Yang di dalam teorinya adalah merupakan prinsip penting bagi terlaksananya dialektika historis, yang pada gilirannya melahirkan masyarakat tanpa kelas. Dari sudut ini sepertinya memang ada keselarasan dari apa yang diperjuangankan oleh marxisme, dengan apa yang juga hendak diperjuangkan oleh Islam. Yakni mengangkat harkat dan martabat kaum tertindas (mustadh’afin) ke tingkat yang lebih tinggi dan mewujudkan masyarakat yang tanpa kelas (egaliter) di muka bumi.

Pembelaan Islam terhadap kaum tertindas sejatinya tidaklah “seakan-akan”, melainkan kongkrit dan rasional. Zakat adalah merupakan perintah agama yang memiliki kedudukan sangat sentral di dalam Islam. Di samping sebagai kewajiban agama yang bersifat transenden, zakat adalah juga merupakan instrumen ekonomi yang berdimensi sosiologis. Yaitu instrumen di dalam pengalihan dan distribusi kepemilikan (modal dan alat-alat produksi), yang diambil dari sebagian milik kaum borjuis untuk dialihkan dan didistribusikan kepada golongan tak bermilik. Jadi dalam hal ini memang ada perbedaan di dalam cara mencapai tujuan yang sama itu.

Daftar Bacaan

Noer, Deliar – Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1988
Gie, Soe Hok – Di Bawah Lentera Merah, Yayasan Bentang Budaya, 1999 (eBook)
Marx, Karl & Friedrich Engels - Manifesto Partai Komunis, Yayasan "Pembaruan", 1959 (eBook)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar