FEDERASI SERIKAT PEKERJA MEDIA: ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN
Oleh: Busyra Q. Yoga (*)
Perlukah mendirikan federasi serikat pekerja media saat ini? Saat dimana gerakan serikat pekerja pada umumnya sedang dipinggirkan kembali, setelah “seakan-akan” diberi kemudahan pasca tumbangnya rezim Orde Baru pada Mei 1998. Sementara pada sisi lain, isu mengenai pendirian serikat pekerja di kalangan para pekerja media, relatif masih tergolong baru. Meski sebagian pekerja media, khususnya wartawan, banyak yang bersentuhan langsung pada isu-isu perjuangan serikat buruh melalui liputan-liputan yang mereka lalukan.
I. PENDAHULUAN
Pada awal berdirinya republik, gerakan buruh di Indonesia mengalami masa yang relatif baik. Para pendiri bangsa yang banyak bersentuhan dengan sosialisme – sebagai inspirasi di dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda, memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi gerakan buruh di tanah air. Beberapa orang perwakilan buruh duduk di Dewan Perancang Nasional dan Dewan Pertimbangan Agung, untuk menyuarakan kepentingan buruh pada level negara.1 Sayang, pengkhianatan PKI pada tahun 1965, memberi andil yang besar bagi pemberangusan gerakan buruh pasca keruntuhan rezim Orde Lama.
Pada awal peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama (1945-1966), pemerintah Orde Baru (1966-1998) yang didominasi kalangan militer (angkatan darat) bergerak cepat mengkonsolidasikan gerakan buruh. Melalui sebuah seminar yang disponsori sebuah lembaga asing pro pasar bebas, disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang akan didukung oleh Orde Baru:
1. Gerakan Buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun;
2. Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar;
3. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal sosial ekonomis;
4. Penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada penyatuan;
5. Perombakan pada struktur keserikatburuhan, mengarah pada serikat sekerja untuk masing-masing lapangan pekerjaan.
Konsolidasi tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk berdirinya FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono, mantan ketua Gasbiindo, dan sekjennya adalah Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi Khusus, pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang dilepaskan dari kekuatan politik manapun—dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI selalu diambil dari kader-kader Golkar.2
(*)____Ketua dan salah seorang pendiri Forum Karyawan SWA (FKS)
Tulisan ini dibuat dan disajikan dalam rangka seminar “Kondisi Industri Media dan Tantangan Serikat Pekerja Media” yang diselenggarakan oleh Komite Persiapan Federasi Serikat Pekerja Media-Independen (KP-FSPM-Independen), 25 Juli 2009, di YTKI, Jakarta.
Pada tahun 1985 FBSI bersalin rupa menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yaitu bersamaan dengan diperkenalkannya konsep “azas tunggal” yang sangat anti pada pluralitas. Sejak itu pula dimulailah era wadah tunggal bagi serikat buruh yang membungkam elemen-elemen serikat buruh progresif.
Berawal dari krisis moneter yang melanda hampir seluruh kawasan Asia menjelang akhir 1997, Orde Baru pun tumbang melalui gerakan aksi mahasiswa yang mendesak Soeharto lengser dari jabatannya setelah berkuasa selama 32 tahun. Sebagai implementasi dari Letter of Intent dengan pihak IMF yang ditandatangani oleh Soeharto menjelang lengser-nya, maka seminggu setelah dilantik, Presiden B.J. Habibie pun meratifikasi konvensi ILO No. 87 yang menjamin kebebasan berserikat bagi buruh di Indonesia. Lalu berturut-turut lahir UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja /Serikat Buruh (ditandatangani Presiden K.H. Abdurrahman Wahid), UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (ditandatangani Presiden Megawati Soekarno Putri) dan UU No. 2 tahun 2004 (ditandatangani Presiden Megawati Soekarno Putri). Yang kemudian lebih dikenal sebagai “paket 3 undang-undang perburuhan”.
Sepintas lalu sepertinya angin segar bertiup ke arah gerakan serikat buruh yang telah “tiarap” selama rezim Orde Baru berkuasa. Serikat buruh/serikat pekerja barupun bermunculan bak cendawan dimusim hujan. Namun segera kemudian terlihat, bahwa paket 3 UU Perburuhan tersebut ternyata tak lebih dari upaya kaum neo-liberal internasional melalui agen-agennya (IMF dan Bank Dunia) untuk membuat regulasi perburuhan di tanah air menjadi lebih compatible dengan system ekonomi pasar. Secara garis besar paket 3 UU Perburuhan sesungguhnya melegitimasi informalisasi relasi perburuhan dengan menyingkirkan peran Negara dari dinamikanya.3 Terbukti dengan semakin masifnya praktek-praktek yang menerapkan konsep flexible labour market (buruh kontrak, outsourcing, buruh harian lepas, kerja paruh waktu, dll), yang menyebabkan buruh semakin kehilangan posisi tawarnya. Kondisi buruh yang semakin rentan ini pada gilirannya juga menyulitkan pengorganisasian mereka ke dalam serikat pekerja/serikat buruh.
Pada sisi lain, ketika Orde Baru berkuasa hampir semua wartawan tergabung ke dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Baik suka maupun tidak suka. Karena sistemnya memang dibuat seperti itu. Keanggotaan seseorang pada organisasi PWI menjadi syarat yang menentukan bagi seorang wartawan untuk menduduki jabatan-jabatan penting pada sebuah perusahaan media. Represi dalam koteks ini dialami oleh Goenawan Moehammad, yang dicopot jabatannya sebagai pemimpin redaksi Majalah SWA, ketika ia diketahui ikut menggagas berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 1994 (yang dianggap sebagai upaya untuk menandingi eksistensi PWI).
Seperti halnya SPSI, organisasi PWI pada hakekatnya adalah juga merupakan wadah tunggal yang diciptakan pemerintah Orde Baru untuk mengontrol aktifitas wartawan. Hanya saja, berbeda dengan SPSI, PWI adalah organisasi profesi yang tidak secara langsung bersentuhan dengan masalah-masalah kesejahteraan maupun hak-hak dan kepentingan anggotanya yang bekerja pada perusahaan-perusahaan media. PWI lebih banyak berkecimpung dalam soal-soal kode etik profesi kewartawanan atau lebih sering disebut kode etik jurnalistik. Sehingga ketika isu serikat pekerja mulai bergulir pasca kejatuhan rezim Orde Baru, kebanyakan pekerja media (termasuk di dalamnya para wartawan) merasa gamang pada isu yang baru ini. Sebagian di antaranya berlindung pada predikat “profesional” yang disandangnya, sementara sebagian lainnya cenderung bersikap hati-hati dan bahkan banyak pula diantaranya yang tidak mau ambil peduli.
II. PERLUNYA FEDERASI SERIKAT PEKERJA MEDIA
Di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pertama yang berhasil disepakati antara Forum Karyawan SWA (FKS) dengan pihak manajemen Majalah SWA (periode 2002-2004), terdapat satu ayat (Bab II, Pasal 6, ayat 3) yang berbunyi sebagai berikut: “
Perusahaan mengakui hak Forum Karyawan untuk mengembangkan diri dan organisasi, baik pada tingkat perusahaan maupun federasi, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip berorganisasi yang benar. Sebaliknya Forum Karyawan juga mengakui hak Perusahaan untuk mengembangkan diri dan organisasi, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip berorganisasi yang benar”.
Artinya, sejak awal berdirinya, para pendiri FKS (berdiri 31 Juli 2001) memang sudah sangat menyadari, bahwa setelah FKS berhasil didirikan maka langkah berikutnya adalah menjadikannya bagian dari sebuah federasi serikat pekerja. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, federasi serikat pekerja seperti apa yang pas untuk menjadi induknya FKS yang baru berdiri itu. Hal semacam ini mungkin juga telah dialami oleh beberapa serikat pekerja media yang sudah berdiri lebih dahulu. Terbukti beberapa di antaranya “terpaksa” bergabung dengan federasi serikat pekerja dengan orientasi yang sangat luas (federasi SP non-sektoral), sehingga aspirasi mereka cenderung terabaikan.
Federasi adalah gabungan beberapa serikat pekerja basis (tingkat perusahaan) yang membuat komitmen bersama untuk bergabung. Menurut UU No. 21 tahun 2000, jumlahnya minimal terdiri dari 5 serikat pekerja basis. Maka untuk menjawab pertanyaan di atas, beberapa asumsi berikut ini diharapkan bisa mengarahkan kita menemukan jawabnya.
Pertama, hingga saat ini belum ada federasi serikat pekerja yang secara khusus menaungi serikat-serikat pekerja media yang sudah ada. Di dalam daftar federasi serikat pekerja yang dikeluarkan Departemen Tenaga Kerja tahun 20024, memang ada tercantum nama Federasi Serikat Pekerja Kewartawanan Indonesia (F.SP. PEWARTA) dan Federasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam kasus F.SP.PEWARTA, hingga kini belum/tidak terlihat aktifitas yang berarti serta upaya-upaya kongkrit yang dilakukan untuk mengkordinasikan serikat-serikat pekerja media yang ada. Sementara dalam kasus AJI, meski upaya-upaya kordinasi yang dilakukan cukup gencar, namun karena statusnya adalah juga orgnanisasi profesi (beranggotakan individu) sehingga mengalami kesulitan yang berarti untuk berkiprah pada tingkat basis (bipartit).
Kedua, berdasarkan survey yang dilakukan AJI Jakarta4, terdapat banyak sekali kelemahan di dalam pengorganisasian serikat pekerja media selama ini. Pada tahun itu ada kurang lebih 1000 perusahaan penerbitan pers (media cetak) yang eksis. Dari jumlah itu hanya tercatat kurang dari 30 an serikat pekerja di seluruh Indonesia. Dan dari ke 30 an serikat pekerja tersebut, sebagian besarnya dalam kondisi yang “mati suri”. Ada, tapi tidak jelas aktifitasnya. Dibandingkan serikat pekerja pada sektor manufaktur, maka serikat pekerja pada sektor media masih tertinggal sangat jauh.
Yang ketiga, dari hasil survey itu juga terungkap, bahwa dari 28 serikat pekerja yang diteliti ternyata persepsi dan orientasi para pengurus/aktivis serikat pekerja media terhadap isu-isu strategis masih sangat beragam. Soal isu saham kolektif 20 % misalnya. Beberapa aktivis menganggap itu penting, sementara yang lainnya menganggap itu tidak penting. Yang paling fatal tentunya isu mengenai fungsi dan tugas sebuah serikat pekerja itu sendiri. Sebagian besar pengurus serikat pekerja media saat ini masih beranggapan bahwa fungsi dan tujuan didirikannya serikat pekerja hanyalah sebatas sebagai “jembatan” yang menghubungkan kepentingan karyawan dan kepentingan manajemen. Jika ada masalah atau sengketa perburuhan maka itu bukan lagi tugas serikat pekerja.
Yang keempat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah, upaya-upaya pemberangusan serikat pekerja (union busting) yang dilakukan secara sistematis oleh pihak pengusaha. Tidak hanya di tingkat perusahaan - di mana sebuah serikat pekerja didirikan, seperti misalnya ancaman pembubaran dan kriminalisasi terhadap aktivis dan pengurusnya, bahkan juga pada tingkat legislasi di mana sistem hukum perburuhan ditentukan (sebagaimana dialami paket 3 UU Perburuhan).
Anwar “Sastro” Ma’ruf dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM) yang diundang sebagai narasumber pada salah satu rapat persiapan pendirian Federasi Serikat Pekerja Media-Independen di Majalah SWA pada tanggal 8 Desember 2007, mengungkapkan pentingnya pendirian federasi serikat pekerja media adalah a) menjadi representasi buruh media pada lembaga tripartit nasional, dan b) menjadi representasi buruh media dalam gerakan serikat buruh Indonesia. Tidak adanya perwakilan buruh/pekerja media di dalam lembaga tripartit nasional menyebabkan aspirasi buruh/pekerja media tidak terakomodasi di dalam paket-paket kebijakan pemerintah dan regulasi ketenagakerjaan.
III. TANTANGAN PENGORGANISASIAN SERIKAT PEKERJA MEDIA
Serikat Pekerja Media adalah serikat pekerja-serikat pekerja yang beroperasi di dalam perusahaan media, baik cetak (koran, majalah, tabloid, dll), elektronik (radio, televisi) dan media on-line (portal). Berdasarkan survey AJI Jakarta5 serta beberapa tulisan pengamat perburuhan, maka ada banyak sekali tantangan yang mesti dihadapi oleh para aktvis dan penggerak serikat pekerja media di dalam mengorganisir dirinya.
Namun pada garis besarnya tantangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal. Tantangan internal adalah tantangan yang berasal atau datang dari diri para pengurus/aktivis, anggota dan calon anggota serikat pekerja itu sendiri. Tantangan eksternal adalah tantangan yang berasal atau datang dari luar organisasi serikat pekerja. Dalam hal ini tantangan internal juga dapat dibagi dua. Yaitu tantangan internal yang umum, artinya tantangan internal yang dihadapi oleh umumnya serikat pekerja, dan tantangan internal yang khas dihadapi oleh serikat pekerja media.
Tantangan Internal Yang Umum
Di sini tidak akan dibahas panjang lebar mengenai tantangan internal yang umum ini, karena masalah ini sudah banyak diungkap di dalam berbagai pertemuan dan diskusi-diskusi keserikat pekerjaan, baik di sektor industri manufaktur maupun jasa. Di sini kami hanya mencoba mengungkapkan beberapa item penting tantangan internal pengorganisasian serikat pekerja yang umumnya di hadapi oleh hampir semua serikat pekerja. Di antaranya adalah:
• Lemahnya kesadaran dan kemampuan berorganisasi para pekerja;
• Keengganan pekerja untuk mengambil posisi yang berseberangan dengan manajemen meski kebijakan manajemen jelas-jelas merugikan dirinya;
• Rendahnya pengetahuan kaum pekerja tentang hak yuridisnya sebagai pekerja;
• Kesulitan menghimpun dana organisasi;
• Tidak punya waktu yang cukup untuk berorganisasi;
• Status kerja yang rawan (pekerja kontrak dan outsourcing)
Dan, sebetulnya ada banyak lagi kendala-kendala internal yang dihadapi para pekerja yang berniat mengorganisir diri di dalam sebuah serikat pekerja. Namun satu hal hendaknya dipahami oleh aktivis serikat pekerja, bahwa di dalam percaturan kepentingan antara pihak pengusaha (pemilik modal) dengan pihak pekerja (kaum proletar) tidak ada kata untuk “kepentingan bersama” yang hakiki. Secara hakiki memang kepentingannya berbeda. Bahkan bisa dikatakan bertolak belakang, yang mustahil untuk didamaikan tanpa mengorbankan kepentingan yang satu terhadap lainnya.
Hal ini bisa ditelisik pada prinsip ilmu ekonomi (kapitalisme) yang paling dasar. Pada satu sisi para pengusaha (yang paling bodoh sekalipun) akan berprinsip bahwa, dengan mengeluarkan sesedikit mungkin modal diharapkan dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebaliknya seorang pekerja yang waras (tidak gila) akan berprinsip bahwa, dengan mengeluarkan sesedikit mungkin tenaga, waktu dan pikirannya, mengharapkan penghasilan yang sebesar-besarnya. Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, yang juga diterapkan di negara kita (meski diakui dengan malu-malu), perimbangan kekuatan di antara keduanya semata-mata ditentukan oleh mekanisme pasar. Yang unggul akan mendiktekan kepentingannya pada yang lemah.
Jika surplus modal (dari keuntungan bisnis) senantiasa terkoreksi oleh kecenderungan manusia untuk hidup dalam kemewahan – yang tak mengenal batas – sehingga suplay modal ke pasar selalu terkontrol, maka surplus tenaga kerja ke pasar relatif sulit dikoreksi, sehingga posisi tawarnya menjadi rendah. Di sini titik equilibrium secara exact menempatkan pengusaha pada posisi yang superior di satu pihak, dan pekerja pada posisi yang sub-ordinant di pihak lainnya. Kenyataan ini telah memberikan peluang yang sangat besar bagi pengusaha untuk mendiktekan kepentingannya terhadap kelas pekerja.
Karena itu perlu hendaknya disadari baik-baik oleh setiap pekerja, bahwa kekuatan modal (uang dan penguasaan atas alat-alat produksi) yang begitu perkasa, hanya dapat diimbangi – jika tak ingin mengatakan “dilawan” – oleh kekuatan kolektivitas para pekerja yang bernaung di dalam serikat-serikat pekerja yang mereka bentuk. Dengan begitu posisi tawarnya bisa ditingkatkan lebih baik. Dengan kata lain, pembentukan serikat pekerja adalah suatu keniscayaan yang mesti dilakukan dengan bersungguh-sungguh oleh setiap pekerja, betapapun sulitnya upaya untuk itu.
Tantangan Internal Khas Serikat Pekerja Media
Kalau kita merunut ke belakang, setidaknya ke masa awal-awal berkuasanya rezim orde baru, umumnya perusahaan-perusahaan media cetak didirikan atau dipimpin oleh wartawan-wartawan yang menonjol pada zamannya. Sebut saja, misalnya, Goenawan Mohamad, yang mendirikan majalah mingguan TEMPO. Atau mendiang P.K.Ojong dan Jacob Oetama, yang pada tahun 1967 mendirikan koran harian KOMPAS, sebagai contoh soal. Kemudian para pendiri ini mengajak “kawan-kawan” wartawan lainnya untuk bergabung memajukan perusahaan yang mereka dirikan.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ada banyak perusahaan-perusahaan media, lebih khusus perusahaan media cetak, yang umumnya dikelola secara “kekeluargaan”, dimana batasan antara pekerja dan pemilik kabur adanya. Pada kasus seperti di atas biasanya sistem manajemen kepersonaliaan (human resources management system) yang baik dan baku cenderung diabaikan. Transparansi sistem kepersonaliaan (penggajian, penilaian karya, career pad, dll) menjadi barang yang langka.
Maka tantangan itu muncul, pertama, orang-orang yang dekat dengan pimpinan, atau yang diuntungkan oleh sistem yang “abu-abu” tersebut akan ogah untuk diajak mendirikan atau ikut bergabung ke dalam serikat pekerja. Alasannya jelas, mereka sudah merasa nyaman pada posisnya. Yang kedua, orang-orang yang tidak dekat kepada pimpinan atau bahkan “tidak disukai”, umumnya berada pada posisi yang “rawan” yang membuat dia tidak memiliki keberanian untuk mendirikan maupun bergabung pada sebuah serikat pekerja.
Oleh karena itu, perlu hendaknya disadari oleh setiap aktivis dan penggerak serikat pekerja di perusahaan media, bahwa disamping isu-isu mengenai hak-hak normatif yang umum (gaji, lembur, tunjangan-tunjanga, dll), maka adalah penting untuk mengintrodusir isu-isu mengenai keadilan kepada para pekerja media. Beberapa perusahaan media tertentu mungkin sudah menggaji wartawannya cukup baik (di atas standar upah layak versi AJI Jakarta), namun masih tetap memberlakukan sistem kontributor, wartawan lepas, outsourcing dan lain sebagainya.
Pada sisi lain, temuan Trade Union Rights Centre (TURC) yang disampaikan oleh Rita Olivia Tambunan dalam workshop “Menuju Federasi Serikat Pekerja Media” di Hotel Mutiara Carita, tanggal 26 Januari 2008, patut pula untuk dikemukakan di sini. Menurut Rita: “Beberapa rekan aktivis buruh media, terutama mereka yang berasal dari sektor media cetak, mengakui bahwa mereka yang bertitel ‘jurnalis’ terasa masih menempati kelas elite tersendiri di lingkungan kerjanya. Situasi ini menjadi gap tersendiri di internal buruh media, misalnya kesulitan untuk menemukan isu-isu bersama (common issues) yang dapat menyatukan kepentingan” 6.
Dalam kasus semacam ini, para pekerja non-jurnalis umumnya enggan mengambil inisiatif untuk memulai gerakan. Sebab, jika inisiatifnya itu tidak disetujui oleh para jurnalis di perusahaan tersebut, hampir bisa dipastikan inisiatif itu akan tenggelam dengan sendirinya. Maka, untuk menemukan isu bersama, para aktivis atau penggerak serikat pekerja media perlu kiranya memiliki kepekaan tersendiri terhadap isu-isu krusial di perusahaan yang melibatkan atau berdampak kepada kebanyakan atau seluruh karyawan.
Pengalaman berdirinya Forum Karyawan SWA mungkin bisa diambil sebagai inspirasi, bagaimana isu krusial di perusahaan dapat dikelola dengan baik untuk kepentingan serikat. Di awal tahun 2001 manajemen SWA mengumumkan akan ada kenaikan gaji karyawan sebesar 20 %, setelah selama 3 tahun terakhir tidak ada kenaikan gaji dan banyak fasilitas yang dihapus akibat krisis moneter yang melanda dipenghujung tahun 1997. Tentu saja pengumuman itu disambut dengan penuh antusias oleh seluruh karyawan, tidak terkecuali para wartawan.
Singkat cerita, menjelang pertengahan tahun itu, keluarlah SK pimpinan yang menetapkan besaran kenaikan gaji masing-masing karyawan. Segera saja timbul kehebohan yang merata ke semua sudut kantor majalah SWA, ketika, setelah dihitung-hitung ternyata kenaikannya tidak sampai 20 %. Beberapa aktivis “dadakan” (sebelumnya tak seorang karyawanpun punya pengalaman dengan serikat pekerja), segera saja mengolah isu tersebut dengan menghembuskan isu tentang kebutuhan bersama untuk membentuk sebuah lembaga yang memperjuangkan kepentingan karyawan. Maka lahirlah FKS.
Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal yang langsung tentunya datang dari pengusaha atau tim manajemen di mana para pekerja media itu bekerja. Umumnya pengusaha memandang keberadaan serikat pekerja di perusahaannya adalah sebagai gangguan yang harus disingkirkan jauh-jauh. Hal ini tidak terlepas dari stigma yang memang sengaja dibangun pada masa rezim Orde Baru berkuasa, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mencegah kekuatan serikat buruh menjadi sebuah kekuatan sosial yang eksis. Cap sebagai “kiri” adalah satu stigma yang umum dikenakan pada gerakan serikat pekerja, yang biasanya dibayangkan sebagai anasir yang akan merusak tatanan yang ada.
Tantangan jenis ini sejatinya bukan milik para pekerja media saja. Saat ini tidak banyak pengusaha di Indonesia yang menyadari arti penting keberadaan sebuah serikat pekerja di perusahaan miliknya. Padahal di negara-negara maju keberadaan serikat pekerja sudah menjadi bagian dari kebutuhan perusahaan. Beberapa perusahaan besar di negara maju bahkan melepas satu dua karyawan dari pekerjaan rutin sehari-hari untuk menjadi chaplain --semacam wakil serikat buruh di perusahaan tersebut. Mereka bukanlah pengurus yayasan karyawan --yang sekedar mengurus sumbangan kelahiran, perkawinan, dan kematian atau jalan-jalan bareng maupun pertandingan tarik tambang futsal-- tapi sebagai penghubung antara sebuah kesatuan yang lebih kuat dengan manajemen perusahaan.7
Dalam kasus seperi ini perlu hendaknya digalang suatu kesepahaman permanen antara pengusaha dan pekerja, bahwa keberadaan sebuah serikat pekerja di perusahaan adalah suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak. Tanpa serikat buruh, yang terjadi adalah perselisihan atau pertengkaran serabutan dengan mengandalkan kekuatan masing-masing --kapital melawan anarki. Hasilnya kira-kira; borjuis menang secara legal formal --di dalam sebuah iklim penerapan undang-undang Ketenaga-kerjaan yang lemah--dan proletar menang dalam mengungkapkan kemarahan --di dalam iklim masyarakat yang lebih peduli pada citra diri.8
Tantangan eksternal berikutnya adalah datang dari arah dan perkembangan dunia bisnis media itu sendiri. Konglomerasi dalam bisnis media mulai dikenal di Indonesia, ketika majalah mingguan TEMPO (PT Grafitti Pers) mulai mengembangkan sayapnya di awal tahun 80 an. Dimulai dengan mendirikan majalah Zaman (alm) yang agak nyeni, lalu berturut-turut majalah Matra (gaya hidup pria), Medika (kesehatan) dan SWA (ekonomi). Bersamaan dengan itu, Kompas dengan bendera Kelompok-Kompas-Gramedia (KKG) meluaskan pula jaringannya hampir ke semua jenis media.
Pada awal pertumbuhannya, konglomerasi industri media relatif berdampak posistif bagi perluasan kesempatan kerja, yaitu dengan banyaknya perusahaan media baru yang didirikan. Namun pada perkembangan terakhir ini, konglomerasi di Indonesia berdampak sangat buruk bagi kaum pekerja. Jika semula arus modal meluas dengan banyaknya perusahaan-perusahaan media baru, maka saat ini arus modal justru mengerucut dengan semakin maraknya akusisi dan merger atas perusahaan-perusahaan media yang sudah ada sebelumnya. Terintegrasinya beberapa perusahaan sejenis ke dalam cengkeraman konglomerasi berdampak langsung pada, semakin memudahkan para pengusaha melakukan effisiensi tenaga kerja di perusahaannya. Itu berarti penyempitan kembali lapangan kerja.
Yang terakhir, dan mungkin yang terpenting adalah, semakin mengakarnya paham atau praktek-praktek ekonomi kapitalisme di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Upaya rezim Orde Baru untuk mengikis habis paham lain selain kapitalisme (dengan tameng “pancasilaisme”), utamanya paham sosialisme, agaknya telah membuahkan hasil yang sangat berarti. Saat ini paham sosialisme sudah dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi semua pihak, tidak hanya bagi kalangan pemilik modal, bahkan juga bagi kalangan pekerja yang sejatinya merupakan kalangan yang hendak diperjuangkan oleh paham sosialisme itu sendiri. Kebanyakan kaum pekerja saat ini sudah tidak lagi menyadari dirinya dieksploitasi. Umumnya mereka sudah sampai kepada anggapan bahwa, kenyataan hidup yang dialaminya sekarang ini adalah suatu keniscayaan yang patut diterima sebagai “nasib” yang datang dari Tuhan. Tidak banyak yang bisa menyadari bahwa “nasib” yang menimpanya adalah ulah manusia-manusia serakah kaum kapitalis itu.
Rendahnya kesadaran para pekerja untuk berserikat serta kerasnya penolakan para pemilik modal untuk menerima kehadiran serikat pekerja di perusahannya, dapatlah dianggap sebagai indikator yang menguatkan asumsi ini. Menurut data terakhir yang dimiliki Direktorat Pembinaan Hubungan Industrial – Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi9, saat ini ada 90 federasi serikat pekerja tingkat nasional, 38 di antaranya berafiliasi kepada 3 konfederasi yang ada, dengan jumlah total anggota serikat pekerja 3.405.615 orang. Jika ke 52 federasi yang tidak berafiliasi diasumikan memiliki tingkat unionisasi (pengorganisiran) yang sama, maka saat ini ada sekitar 9 juta pekerja yang tergabung pada 11.786 serikat pekerja tingkat basis (sudah termasuk PUK-PUK).
Jika dari 9 juta pekerja yang sudah bergabung ke dalam serikat-serikat pekerja di perusahaan masing-masing tersebut, dipilah lagi antara mereka yang memahami dengan baik makna hakiki dari perjuangan serikat pekerja dengan mereka yang hanya ikut-ikutan, tentu jumlahnya akan jauh berkurang lagi. Dan jika angka-angka tersebut dihadapkan pada jumlah angkatan kerja – yang menurut data BPS hingga Agustus 2008 berjumlah 111,95 juta, dan jumlah penduduk yang bekerja 102,55 juta, maka jelaslah jumlah pekerja yang sudah sadar berserikat sangatlah tidak memadai. Artinya apa? Artinya, masih diperlukan perjuangan panjang untuk meningkatkan jumlah anggota dan meningkatkan kesadaran pekerja akan arti penting perjuangan serikat pekerja, di dalam memenangkan pertarungan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan beradab.
IV. HARAPAN-HARAPAN YANG MUNGKIN
Dengan tantangan yang begitu kompleks sebagaimana diuraikan di atas, membangun sebuah federasi serikat pekerja media saat ini boleh jadi seperti hendak mendirikan tiang pancang pada tanah yang berlumpur. Meski kebebasan berserikat sudah dijamin negara melalui UU No. 21 tahun 2000, namun upaya untuk mendirikan serikat pekerja, dan juga federasi serikat pekerja tidaklah kemudian menjadi lebih mudah. Terlebih dengan makin derasnya arus paham neo-liberalisme dengan pohon besarnya globalisme, yang terus menerus berupaya meminimalkan peran negara di dalam praktek ekonomi nasional, turut pula “membonsai” setiap upaya yang dilakukan untuk pengorganisiran kaum pekerja.
“Seperti halnya banyak jalan mencapai kota Roma, banyak pula cara untuk mengatasi aneka penolakan pembentukan serikat pekerja”.10 Artinya, upaya untuk mewujudkan serikat pekerja dan federasi serikat pekerja yang kuat, tidak boleh pupus oleh beratnya tantangan-tantangan itu. Semangat untuk itu harus tetap dijaga, dan harapan bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, harus tetap dipelihara.
Harapan diperlukan guna mempertahankan semangat dari terpaan keputusasaan di dalam sebuah perjuangan panjang. Dalam hal ini setidaknya ada dua harapan yang dapat dicantelkan dalam kerangka berdirinya sebuah federasi serikat pekerja media.
1. Perjuangan Buruh Oleh Kaum Intelektual
Sejauh ini gerakan serikat pekerja selalu identik dengan gerakan para buruh/pekerja pada sektor manufaktur. Meski belakangan – pasca reformasi - mulai muncul serikat pekerja-serikat pekerja pada sektor jasa (pariwisata, hotel dan bank), namun hingga kini belum mampu menggeser imej “pabrik” pada gerakan serikat pekerja. Hal ini tidak lepas dari minimnya informasi serta pemberitaan dan pengungkapan mengenai kiprah gerakan - secara keseluruhan - di dalam ruang media publik kita.
Merujuk kepada karakteristik perusahaan di mana para pekerja media bekerja, industri media - berbeda dengan industri manufaktur atau jasa - mengandung nilai, pendapat, dan informasi tertentu yang bisa membawa pembaca atau konsumen terpengaruh atas isi media tersebut.11 Itu artinya, hasil kerja para pekerja media – khususnya jurnalis/wartawan – mengandung potensi yang besar di dalam mempengaruhi pola pikir dan wawasan masyarakat.
Dengan kata lain, masuknya pekerja media ke dalam kancah perjuangan buruh – dengan berdirinya federasi serikat pekerja media, dapatlah diharapkan sebagai awal masuknya kaum intelektual ke dalam gerakan buruh. Yang pada gilirannya nanti ikut merobah citra gerakan buruh yang “pabrik” tadi.
2. Sebagai Corong Gerakan Buruh
Memang, dan tak perlu disangkal, bahwa hingga kini posisi-posisi kunci dalam kebijakan redaksional perusahaan-perusahaan media yang ada, masih didominasi oleh wartawan-wartawan yang tidak begitu bersahabat dengan gerakan serikat pekerja. Hal ini dapat dimaklumi. Dengan semakin terintegrasinya perusahaan-perusahaan media ke dalam jaringan korporasi, maka pilihan yang aman bagi wartawan untuk tetap bercokol pada posisi-posisi kunci, adalah mengabdi pada kepentingan pemilik modal. Sehingga wacana mengenai sosialisme dan gerakan buruh sebagai instrumen perjuangannya tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Nantinya, seiring dengan semakin menguatnya posisi tawar (bargaining position) pekerja media di hadapan pemilik modal – salah satunya dengan mendirikan federasi serikat pekerja media, diharapkan kondisi ini dapat berobah. Dalam hal ini diperlukan suatu koalisi strategis dengan gerakan buruh sektor manufaktur, yang secara historis memang memiliki potensi besar dalam hal mobilisasi massa. Melalui suatu aksi massa yang masif, tentunya tidak sulit untuk menempatkan wartawan-wartawan progresif pada posisi kunci dalam kebijakan redaksional perusahaan-perusahaan media. Yang pada gilirannya dapat memberikan ruang yang lebih besar pada wacana-wacana sosialisme dan perburuhan di media tempatnya bekerja.
Hanya perlu sekali digarisbawahi di sini, bahwa di dalam koalisi ini hendaknya dibangun suatu kesepahaman yang mengikat. Bisa berupa perjanjian atau traktat dengan sanksi-sanksi yang jelas, guna menghindari kecurigaan dan pengkhianatan di kemudian hari. Atau, bahkan, membangun sebuah konfederasi baru dengan aturan main yang jelas dan adil. Yang tidak hanya bertujuan untuk sekedar dapat mengirimkan wakilnya pada lembaga tripartit nasional, akan tetapi lebih dari itu, memulai suatu perjuangan ke arah perobahan sosial yang signifikan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
Federasi serikat pekerja media memang perlu untuk segera didirikan. Betapapun kompleksnya tantangan untuk itu. Tidak seorangpun dapat menjamin bahwa kondisi lima atau sepuluh tahun mendatang akan lebih baik dari sekarang.
Disamping sebagai representasi pekerja media pada lembaga tripartit nasional dan gerakan buruh Indonesia, federasi serikat pekerja media dibutuhkan saat ini juga adalah, untuk sesegera mungkin melakukan konsolidasi internal ke dalam serikat pekerja-serikat pekerja media yang ada, yang ada tetapi sedang “mati suri”, atau yang bahkan masih berupa embriyo. Tak dapat disangkal bahwa untuk itu diperlukan effort yang lebih serta semangat yang tak kenal menyerah dari para aktivis dan penggeraknya.
Federasi serikat pekerja media dibutuhkan saat ini juga, terutama sekali adalah guna membendung arus liar korporatisme industri media yang kian menggila. Kekuatan modal yang intimidatif dari arus korporasi media, hanya dapat diimbangi atau dibendung oleh kekuatan soliditas para pekerja media. Semakin banyak anggota federasi akan semakin besarlah kemampuannya untuk membendung dan mengeliminir dampak negatif korporasi media.
Guna membangun federasi serikat pekerja yang kuat, beberapa saran berikut ini mungkin perlu dipertimbangkan oleh para aktivis dan penggeraknya.
1. Federasi serikat pekerja media haruslah merepresentasikan kepentingan bersama dari serikat pekerja-serikat pekerja yang bergabung di dalamnya.
2. Program kerja organisasi hendaklah disusun secara terpadu dan tearah, berdasarkan kebutuhan bersama yang kongkrit, baik untuk kebutuhan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
3. Jadikan perluasan keanggotaan sebagai prioritas utama di dalam program kerja jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
4. Untuk menjaga independensi gerakan, federasi serikat pekerja media haruslah seyogyanya mampu menggalang dana dari dalam, melalui iuran anggota yang sistematis dan berkesinambungan.
5. Sebisa mungkin dibangun koalisi strategis dengan pihak-pihak diluar pekerja media, tidak saja dengan buruh manufaktur atau jasa, tetapi juga dengan gerakan-gerakan tani, nelayan, HAM, dll.
Catatan Kaki
1.____Wulandari, Sri “Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, Pustaka Rakjat, 1961”, http://bintangtenggara.multiply.com/journal/item/111, 2007
2.____Kusumandaru, Ken Budha “Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, sebuah tinjauan ringkas”, http://rendroprayogo.multiply.com/journal/item/16, 2008
3.____Tambunan, Rita Olivia dan Nurus S. Mufidah, “Sejumlah Isu dan Masalah Ketenagakerjaan di Sektor Media: Pengantar Diskusi”, disampaikan pada workshop AJI Indonesia, 2008
4.____Dari http://ab-fisip-upnyk.com/files/Daftar-Nama-Serikat-Pekerja.pdf
5.____Jakarta, AJI “Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia”, www.aji-jakarta.org, 2002
6.____Ibid.
7.____Tambunan, Rita Olivia dan Nurus S. Mufidah, op.cit.
8.____Siregar, Liston P “Kompas dan Serikat Pekerja”, http://fspmipemi.multiply.com/ journal/item/8, 2007
9.____Ibid.
10.____HW “Audiensi anggota LKS Tripartit Nasional dengan Presiden RI”, berita headline pada http://phi-jsk-nakertrans.net/detailberita.asp?id=1795
11____Yusron, Ulin Ni’am, dkk. “Pengorganisiran Serikat Pekerja Pers”, AJI Indonesia, 2005.
12____Haryanto, Ign. “Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap Demokrasi” http://wisat.multiply.com/journal/item/23, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar