Sabtu, 17 Juli 2010

RT 06

Oleh : Busyra Q. Yoga
Ketua RT 06/RW 013 Periode 2009-2012

(Untuk menjaga kenyamanan berbagai pihak, lokasi keberadaan RT 06/RW 013 sengaja tidak diungkapkan secara transparan)

RT atau Rukun Tetangga adalah miniatur Indonesia. Jika kita ingin melihat watak bangsa Indonesia di dalam berbangsa dan bernegara lihatlah bagaimana cara mereka berorganisasi di lingkungan mereka dalam wadah Rukun Tetangga (RT). Pernyataan ini mungkin akan terasa berlebihan, terutama jika kita tidak atau belum memahami sepenuhnya apa sebetulnya esensi dari organisasi yang umumnya kita anggap sepele ini.

Kebanyakan orang mungkin beranggapan bahwa RT adalah instansi pemerintah di bawah Kelurahan atau Desa, yang urusannya adalah membuat surat keterangan untuk membuat atau memperpanjang KTP. Selebihnya dari itu, adalah urusan keamanan dan kebersihan lingkungan (sampah), sesekali menggerakkan warga masyarakat untuk melakukan kerja bakti, dan yang selalu dianggap penting adalah menyelenggarakan perayaan peringatan HUT kemerdekaan RI setiap bulan Agustus. Mungkin tidak cukup banyak warga masyarakat yang menyadari, bahwa RT adalah organisasi masyarakat yang dibentuk atas kemauan masyarakat itu sendiri. Bahwa yang di dalamnya terkandung, di samping haknya untuk mendapatkan layanan dalam urusan administrasi pemerintahan, adalah juga kewajibannya untuk berpartsispasi dan terlibat di dalam menentukan maju atau mundurnya organisasi. Dan juga, bahwa pengurus RT tidaklah bertanggung-jawab kepada siapapun selain kepada warganya sendiri.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007, tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Rukun Tetangga, untuk selanjutnya disingkat RT atau sebutan lainnya adalah lembaga yang dibentuk melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa atau Lurah. Selanjutnya pada Pasal 15 disebutkan, RT/RW dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mempunyai fungsi: (1). pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya; (2). pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; (3). pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan pengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat; dan (4). penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.

Tulisan ini memang bukan hasil penelitian yang komprehensif mengenai lembaga ke RT an, sehingga dapat dijadikan rujukan bagi merumuskan keberadaan lembaga ini secara objektif. Tulisan ini hanya semata-mata bertolak dari pengalaman pribadi penulis yang dipilih oleh warga untuk menjadi ketua RT di lingkungan tempat tinggal penulis, sejak bulan Juli 2009. Ditambah dengan pengamatan partsisipatif penulis terhadap perjalanan lembaga tersebut, sejak berdirinya di tahun 1992.

RT 006/RW 013 berdiri adalah sebagai akibat logis dari pemekaran RW 011, sehubungan dengan pertambahan jumlah penduduk (KK) yang menempati rumah masing-masing di komplek perumahan yang berdiri sejak tahun 1989 itu. Ketua RT yang pertama adalah salah seorang warga (berarti tetangga penulis), yang sebelumnya telah berpatisipasi di dalam kepengurusan RW 011. Sehingga penunjukannya sebagai Ketua RT tidak melalui pemilihan, melainkan langsung ditunjuk oleh Ketua RW 013 yang baru dibentuk. Yang bersangkutan menjabat sebagai ketua RT selama 8 tahun, tanpa ada “cut-off” dan tanpa pemilihan ulang. Sang Ketua RT merasa senang, dan warga juga merasa senang. Kebetulan sang Ketua RT tersebut termasuk salah seorang yang cukup berada pada saat itu dan cukup dermawan, sehingga sering kali tidak sungkan merogoh kocek sendiri untuk menutupi berbagai kebutuhan organisasi yang tak dapat dipenuhi oleh iuran warga.

Semua berjalan normal dan baik-baik saja. Pertemuan warga secara rutin dapat terselenggara setiap bulan, dengan lokasi pertemuan bergiliran dari satu rumah warga ke rumah warga lain pada bulan berikutnya. Sehingga tali silaturrahmi sesama warga dapat terjaga dengan baik. Berbagai acara dan perayaan-perayaan tujuh belas agustusan selalu diselenggarakan dengan cukup meriah. Bahkan semasa kepemimpinan beliau ini kami berhasil membuat lampu penerangan jalan yang tertata rapi, dengan meteran sendiri, atas swadaya masyarakat. Sebagai informasi saja, umumnya lampu penerangan jalan di komplek kami ini terselenggara dengan cara “nyantel” ke tiang listrik PLN. Pendek kata kepemimpinan Ketua RT yang pertama ini, adalah yang terbaik sepanjang sejarah RT 06.

Lalu tibalah masanya Ketua RT yang pertama ini merasa “capek”, dan kemudian menyelenggarakan pemilihan ketua RT yang baru untuk menggantikan beliau. Pemilihanpun berjalan mulus, dan yang terpilih sebagai Ketua RT yang baru adalah mantan sekretaris ketua RT yang lama. Berbeda dengan ketua RT yang lama, ketua RT yang baru ini tidaklah “se-berada” ketua RT yang lama. Tetapi beliau ini sangat rajin dan tulus di dalam menjalankan tugas-tugasnya. Baik ketika menjabat sebagai sekretaris ketua RT yang lama, maupun ketika menjabat ketua RT yang baru. Bahkan beliau ini tidak sungkan-sungkan pula untuk mendatangi masing-masing rumah warga, untuk menarik uang iuran warga setiap bulannya.

Sayangnya, sejak peralihan kepemimpinan di RT 06 ini, sejak itu pula pertemuan warga yang sebelumnya rutin diselenggarakan, tidak lagi dapat diselenggarakan. Begitu pula dengan kepengurusan periode berikutnya (ke 3 dan ke 4). Banyak faktor yang bisa ditunjuk sebagai penyebab kenapa hal ini terjadi. Salah satu yang penulis anggap penting adalah, perubahan pada struktur ekonomi masing-masing warga. Yang tadinya tingkat ekonominya “biasa-biasa saja”, sesuai perkembangan karir ditempat kerja atau usahanya, kemudian status ekonominya telah meningkat lebih baik. Tidak adanya lagi pertemuan warga yang rutin, menyebabkan individualisme di lingkungan warga RT 06 ini telah meningkat cukup tajam. Penulis (yang pengamat partisipatif..he..he..) hampir selalu mengingatkan kepada ketua RT terpilih, untuk menghidupkan kembali lembaga pertemuan warga tersebut, yang menurut penulis sangat penting bagi keberlangsungan organisasi ke RT an itu sendiri. Pertemuan warga hendaknya dijadikan forum pengambilan keputusan tertinggi, di mana pengurus hanya menjadi pelaksana bagi kehendak warga yang diputuskan melalui forum tersebut. Tapi hal itu tidak pernah berhasil diselenggarakan lagi.

Sejak itu pula kepengurusan RT 06 berjalan seadanya. Laporan keuangan berkala dan laporan dari berbagai program yang dijalankan, tidak lagi dapat diselenggarakan. Eloknya, warga tidak ada yang protes. Alih-alih melayani kepentingan warga untuk kemajuan bersama – di luar urusan rutin dan kepentingan administrasi pemerintahan, kepengurusan lebih banyak melayani kepentingan segolongan elit tertentu yang mampu “menyumbang” lebih banyak dari warga lainnya. Blok-blok kepentinganpun tercipta tanpa arah yang jelas. Hubungan di antara sesama warga seringkali menimbulkan friksi-friksi negatif dan pada gilirannya melahirkan rasa saling curiga mencurigai satu sama lainnya. Beberapa warga yang mengalami masa kepemimpinan Ketua RT pertama sudah banyak pula yang meninggal dunia atau pindah dan tidak lagi tinggal di RT 06. Sementara itu warga-warga barupun muncul. Sehingga menambah kerumitan dalam kepengurusan RT 06.

Problematika Kepengurusan RT 06 Periode 2009-2012

Akhirnya tiba pulalah saatnya pergantian kepengurusan RT 06, pada bulan Juli 2009. Ketua RT yang lama (ke 4) tidak lagi bersedia di pilih, karena berniat untuk pindah ke lokasi perumahan yang lebih elit. Menghadapi kerumitan persoalan kepengurusan sebagaimana dikemukakan di atas, tidak banyak lagi warga yang ingin menjadi ketua RT. Beberapa tokoh yang dianggap potensial untuk menggantikan pengurus lama, memilih untuk tidak hadir pada saat pemilihan berlangsung. “Tak ada rotan akarpun jadi”, begitulah mungkin anggapan sebagian warga, ketika sebagian besarnya menjatuhkan pilihan mereka kepada penulis untuk menjadi ketua RT 06 periode 2009-2012.

Sebetulnya hanya ada satu alasan saja, yang membuat penulis bersedia untuk dicalonkan. Yakni untuk menghidupkan kembali pertemuan warga secara rutin, dan menjadikannya sebagai forum tertinggi di dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Itupun karena sudah terlanjur disuarakan sejak kepengurusan kedua, ketiga dan keempat. Dengan mengucap “bismillahirrahmanirrahim” di dalam hati, penulispun menerima tanggung jawab yang mulia lagi penting itu. Setelah selesai menyusun formasi kepengurusan lengkap, berikut seksi-seksi (semuanya berjumlah 8 orang), maka dimulailah upaya-upaya yang diperlukan untuk mewujudkan misi tunggal itu. Dan bagian ini adalah bagian terpenting dari keseluruhan cerita ini, karena berkaitan dengan keberlangsungan eksistensi RT 06 ke depan. Dan penulis telah bertekad untuk mempertaruhkannya.

Upaya mewujudkan misi itu kemudian terbukti tidaklah mudah.Yang pertama sekali penulis lakukan adalah menyusun program kerja berikut rencana anggaran dan penerimaan untuk tiga tahun ke depan, setelah mendapat masukan seperlunya dari seksi-seksi yang ada. Termasuk di dalamnya program renovasi lampu jalan, yang sudah tertunda lama sejak kepengerusan Ketua RT yang ke 3. Lampu jalan perlu direnovasi karena, baik dari segi tinggi tiang dan juga modelnya tidak memenuhi syarat secara teknis. Bulan Oktober 2009 digelarlah “musyawarah warga” (ini istilah baru yang penulis perkenalkan menggantikan istilah “pertemuan warga”), dengan agenda tunggal mengesahkan program kerja serta anggaran penerimaan dan pendapatan RT 06 periode 2009-2012. Hal mana belum pernah dilakukan oleh pengurus-pengurus sebelumnya. Musyawarah warga yang pertama ini gagal total, karena jumlah warga yang hadir tidak mencapai quorum dari total warga yang berjumlah 50 KK. Dan penulis bertekad untuk tidak mengambil keputusan apapun jika musyawarah warga tidak mencapai quorum.

Musyawarah warga kedua diselenggarakan 19 Desember 2009. Musyawarah kali ini dapat mencapai quorum, terutama karena penulis bersama-sama dengan sekretaris RT, berinisiatif untuk mengetuk masing-masing rumah warga yang belum hadir dan meminta mereka untuk segera hadir. Musyawarah kali ini tidak lagi mengagendakan pengesahan program kerja dan anggaran, karena sebelumnya telah dilangsungkan pertemuan pengurus yang membahas teknis pelaksanaan renovasi lampu jalan. Mayoritas pengurus menyarankan untuk tidak usah pake program-program dan anggaran-anggaranan. Yang penting laksanakan aja dulu, nanti kalau uangnya kurang baru mintakan warga (mengacu pada paradigma yang lama). Penulispun mengalah dalam soal ini dan tak hendak memaksakan kehendak sendiri. Penulis berkeyakinan, jika saja musyawarah warga bisa terlaksana sebagaimana yang direncanakan, kesadaran warga akan perlunya perencanaan dalam sebuah program kerja, bisa ditumbuhkan secara perlahan. Musyawarahpun berhasil mengambil keputusan, bahwa musyawarah warga diselenggarakan setiap 3 bulan sekali dan semua warga wajib menghadirinya. Bagi yang berhalangan sekali, diwajibkan mengirimkan wakilnya atau setidaknya membuat pernyataan tertulis bahwa yang bersangkutan akan tunduk pada semua keputusan yang dihasilkan musyawarah.

Tibalah saatnya untuk menguji hasil keputusan itu. Tanggal 10 April 2010 direncana musyawarah warga ketiga, dengan agenda membahas perubahan sistem dan besaran iuran warga serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan renovasi lampu jalan. Penulis beranggapan sistem iuran bulanan yang pukul rata selama ini, tidak adil dan memberatkan bagi warga dengan tingkat ekonomi tertentu. Sistem iuran akan dibuat bergradasi sesuai dengan type rumah, dan betingkat atau tidaknya rumah warga. Sayang memang, hasil keputusan musyawarah sebelumnya ternyata tidak berbekas sama sekali. Lagi-lagi jumlah warga yang hadir tidak memenuhi quorum dan tidak satupun surat pernyatan tertulis yang dibuat. Gagasan perubahan sistem iuran memang disampaikan juga kepada warga dan mendapat dukungan dari semua yang hadir (sekitar 20 an KK), tetapi penulis tidak hendak menganggapnya sebagai keputusan organisasi. Dan penulis memilih untuk melancarkan jurus terakhir, jurus yang akan menentukan kelanjutan eksistensi RT 06 kedepan!

Solusinya?

Jurus terakhir itu adalah: membekuan kepengurusan RT 06 periode 2009-2012. Dan itu, tidak lain, adalah juga berarti pembubaran RT 06! Sampai ada warga yang berinisiatif lagi untuk membentuk panitia dan melakukan pemilihan ketua RT 06 yang baru. Karena penulis sendiri berpendirian bahwa penulis bukanlah mengundurkan diri, karena itu tidak berkewajiban membentuk panitia pemilihan. Atau, kemungkinan lain adalah, RT 06 akan diselenggarakan menurut sistem “RT cowboy”. RT cowboy adalah istilah penulis sendiri, dan ini memang ada faktanya di lingkungan perumahan penulis tinggal, yaitu seseorang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua RT, melaporkan dirinya telah dipilih oleh warga kepada RW dan Lurah, dengan begitu dia mendapat bantuan dari kelurahan sebesar Rp. 300.000,- setiap tiga bulan. Enak, toh?

Untuk tujuan itu penulis mengundang semua pengurus untuk rapat, membahas kemungkinan pembekuan tersebut, dengan membuat tembusan kepada Ketua RW 013 sebagai pemberitahuan. Tak lupa penulis mencantumkan sebuah catatan penting, bahwa apabila rapat pengurus itu tidak memenuhi quorum, maka penulis akan mengumumkan secara sepihak pembekuan kepengurusan RT 06 kepada seluruh warga. Alhamdulillah, ada 5 orang pengurus yang hadir, dan penulis menganggap itu cukup valid untuk mengambil keputusan. Keputusannya adalah, membawa persoalan tersebut ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu musyawarah warga luar biasa dan mengundang Ketua RW 013 untuk hadir juga sebagai saksi. Akhirnya dipilihlah tanggal 13 Juni 2010 sebagai waktu pelaksanaan musyawarah warga luar biasa tersebut.

Lalu dikirimlah undangan kepada seluruh warga sesuai hasil keputusan rapat pengurus tersebut, dengan menjelaskan duduk persoalan serta agenda yang hendak dibahas di dalam musyawarah warga luar biasa tersebut. Dan tak lupa pula dicantumkan catatan penting itu, bahwa jika musyawarah tidak mencapai quorum maka otomatis kepengurusan dibekukan. Undangan yang sama juga dikirmkan kepada ketua RW 013, yang ternyata datang bersama dua orang stafnya. Singkat kata hari yang ditentukan itupun tiba. Setelah acara dibuka oleh sekretaris dan sambutan dari ketua RW disampaikan, tibalah giliran penulis untuk memimpin pembahasan. Dengan membacakan jumlah warga yang hadir dari daftar hadir yang disediakan, yang ternyata tidak memenuhi quorum (hanya ada 17 KK), maka penulispun mengumumkan bahwa kepengurusan resmi dibekukan dan tidak ada pembahasan untuk itu lagi. Kecuali tanya jawab diseputar keputusan yang diambil tanpa dapat mempengaruhi keputusan itu sendiri. Semua yang hadirpun seketika terhenyak.

Sebelum tanya jawab dibuka, terlebih dahulu penulis menyampaikan perkiraan penulis sendiri mengenai alasan gagalnya musyawarah tersebut. Kemungkinan pertama adalah, mayoritas warga tidak menghendaki terpilihnya penulis sebagai ketua RT, tetapi tidak punya keberanian menunjukkan sikapnya secara terbuka dan terus terang. Padahal jika saja mereka menunjukkan sikapnya, penulispun tidak akan keberatan dilakukan pemilihan ulang. Kemungkinan kedua adalah, mayoritas warga tidak menghendaki organisasi ke RT an ini sendiri. Mereka hanya butuh ada orang yang melayani kebutuhan mereka, mengurusi sampah mereka dan merasa kewajiban mereka sudah selesai dengan membayar iuran yang diwajibkan kepadanya. Padahal semua pengurus, termasuk ketuanya, membayar juga kewajiban yang sama. Dan sejak awal berdiripun memang disepakati bahwa tidak ada imbalan apapun bagi pengurus, termasuk ketuanya. Inilah ketidak adilan itu! Sebagian orang menganggap organisasi ini penting (yang ditunjukkannya dengan hadir) sementara sebagian besar lainnya menganggap tidak penting. Lalu kenapa organisasi ini harus ada, padahal keanggotaan organisasi ini adalah bersifat otomatis (stelsel pasif). Begitulah kira-kira argumen yang penulis kemukakan, seraya tak lupa menjelaskan berbagai kemungkinan yang harus dihadapi bersama pasca keputusan ini dijalankan.

Dengan begitu terjadilah perdebatan yang lumayan sengit, khususnya antara penulis dengan mantan ketua RT lama (yang ke 3, yang kebetulan hadir) dan mantan pengurus lama lainnya. Umumnya mereka beranggapan penulis telah terburu-buru mengambil keputusan dan tidak mengajak warga untuk berembug terlebih dahulu (padahal undangan sudah disebar merata dan musyawarah tersebut dimaksudkan justru untuk berembug). Bahkan beliau (mantan ketua RT lama) berulangkali menegaskan, bahwa beliau sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa mayoritas warga masih menghendaki penulis sebagai ketua RT dan mayoritas warga juga tidak menghendaki kepengurusan dibekukan. Sayangnya beliau tidak dapat menjelaskan argumen yang logis yang mendasari keyakinannya itu. Begitulah, perdebatan itupun kemudian berlarut-larut dan menjurus menjadi debat kusir.

Belakangan ketua RW, yang semula mengambil posisi hanya sebagai saksi, akhirnya angkat bicara dan mencoba mengajukan usulan sebagai jalan tengahnya. Usulan beliau sederhana saja, tetapi sangat masuk akal dan diterima oleh semua pihak yang hadir. Usulan beliau adalah, keputusan musyawarah malam itu tidak bersifat final, tetapi segera diselenggarakan musyawarah warga luar biasa ulangan pada menjelang bulan puasa, dan semua yang hadir berkewajiban menghadirkan minimal satu tetangganya yang tidak hadir dan menghadirkannya pada musyawarah ulangan itu.

Begitulah, musyawarah warga luar biasa RT 06 malam itupun ditutup dengan damai, dengan menyisakan sebuah pertanyaan lagi dibenak penulis: akan bagaimanakan nasibnya RT 06 ke depan, pasca diselenggarakannya musyawarah luar biasa ulangan pada akhir Juli atau awal Agustus mendatang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar