Sabtu, 17 Juli 2010

ALI SYARI'ATI......SUFI YANG REVOLUSIONER




"Melarikan diri dari kesepian, kutekuni sejarah; segera kucari saudaraku Ain Al-Quzat. Pada puncak perkembangan usia remajanya dia harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup. Kesalahannya: memiliki kesadaran, kepekaan dan keberanian berpikir. Dalam masa kejahilan kesadaran memang merupakan dosa. Dalam masyarakat tertindas lagi tehina keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu, sebagaimana kata Buddha, 'menjadi sebuah pulau di negeri danau', adalah dosa tanpa ampun".

Ali Syari'ati - Mukaddimah dalam Kavir (Gurun Pasir)
dikutip dari - Ali Syari'ati, "Tentang Sosiologi Islam", Ananda, Yogyakarta, 1982

Ain Al-Quzat Hamadani adalah seorang sufi Parsi yang dihukum di Baghdad pada tahun 1132 M, atas tuduhan menyebarkan bid'ah. Seperti halnya "saudara" yang dikaguminya itu, Syari'ati pun dihukum oleh rezim Pahlevi yang panas kuping oleh pidato dan ceramah-ceramahnya, baik di kampus maupun di masjid. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.

Shari'ati pun menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya serta pergi ke Inggris. Namun, rezim Syah Pahlevi tidak menghendaki dia ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, lalu menawan istri dan anak Ali Syari’ati, yang ditinggalkannya dengan penuh kepedihan. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syari’ati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.

Muncul spekulasi kemudian, bahwa ia dibunuh oleh agen-agen SAVAK, atau bahkan oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang fanatik, yang menganggap sepak terjang serta pikiran-pikiran Syari'ati yang anti terhadap feodalisme, telah menodai kewibawaan sang Ayatollah.

Itulah Ali Syari'ati, seperti halnya "saudara" nya, iapun telah menempatkan kebenaran pada tempatnya yang layak. Ia lah sang sufi yang revolusioner itu. Seorang sufi memang seharusnya juga seorang yang revolusioner! Begitulah seruannya berulang kali. Dia telah menempatkan dirinya sendiri di sana! Dan dia tidak munafik dengan apa yang dikatakannya.

-Yoga-

Sesuatu Dari Polemik Abdoel Moeis dan Semaoen di Tubuh Sarekat Islam










Oleh: Busyra Q. Yoga


Sarekat Islam (SI) dapat dikatakan merupakan gerakan politik Islam modern pertama di Indonesia. Didirikan di Solo oleh H. Samanhoedhi pada tanggal 11 November 1912, Sarekat Islam tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya bernama Sarekat Dagang Islam yang berdiri setahun sebelumnya. Tidak jelas kapan persis waktu kejadiannya, Deliar Noer di dalam bukunya “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” mencatat, bahwa H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) telah bergabung ke dalam SI atas permintaan H. Samanhoedi sendiri, yaitu pada awal-awal tahun berdirinya, yang sekaligus juga ditunjuk sebagai Ketua SI Surabaya.

Di tahun 1912 itu pula, H.O.S. Tjokroaminoto yang berpikiran jauh ke depan, mengirimkan utusannya ke Bandung untuk meminta beberapa tokoh di sana bergabung untuk membesarkan SI. Termasuk di antaranya adalah Abdul Moeis (1884-1959), seorang pujangga dan jurnalis yang berpikiran progresif. Adapun Semaoen (1899-1971), yang banyak dipengaruhi oleh paham marxisme, mulai bergabung pada SI cabang Surabaya di tahun 1914. Kemudian ia pindah ke Semarang dalam tahun 1915, dan berhasil mengambil alih kepemimpinan SI Semarang.

Dalam upaya menyiasati sikap pemerintah kolonial Belanda yang tak hendak mengakui keberadaan organisasi kaum pergerakan yang bersifat nasional, dalam suatu pertemuan di Yogyakarta pada 18 Februari 1914, dibentuklah Central Sarekat Islam (CSI) yang dimaksudkan sebagai “induk” dari SI-SI lokal. H.O.S. Tjokroaminoto ditunjuk sebagai Ketua dan H. Samanhoedi sebagai Ketua Kehormatan. Sejak itu pula sejarah mencatat kiprah Tjokroaminoto sebagai tokoh paling sentral di dalam membesarkan SI dan menjadikan SI sebagai organisasi politik kaum pribumi yang modern dan disegani pada masanya.

Di dalam kongres ke 3 Central Sarekat Islam (29 September – 6 Oktober 1918), di Surabaya, pertentangan antara Semaoen (SI Semarang) dengan Abdul Moeis (Wakil Presiden CSI) yang telah mencuat sejak kongres ke 2 di Jakarta (Oktober 1917) kembali merebak kepermukaan. Kongres berlangsung tegang. Abdul Moeis yang pada kongres ke 2 diserang dengan gencar sekali oleh pihak Semaoen, di mana konsep-konsep pemikiran Semaoen lebih banyak diterima dan diadopsi oleh partai, pada kongres ke 3 ini berusaha sekuat tenaga untuk membalasnya. Akhirnya pertentangan dapat diselesaikan melalui rapat pimpinan tertutup, yaitu dengan masing-masing pihak membuat pernyataan tertulis yang memuat kesedian masing-masing untuk menjaga keutuhan azas partai dan tidak membawa persoalan internal partai ke publik. Meski dapat diselesaikan (sementara), tak pelak saat itu pula benih perpecahan pada organisasi politik nasional terbesar itu telah mulai disemai.

Soe Hok Gie di dalam bukunya Di Bawah Lentera Merah (Yayasan Bentang Budaya, 1999), mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal perseteruan keduanya. Yang pertama adalah soal agama. Bagi kelompok Moeis, agar agama Islam diperkembangkan melalui partai. Sementara bagi Semaoen, cukuplah agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Yang kedua adalah soal nasionalisme. Kelompok Moeis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya. Sementara kelompok Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang terpokok. Yang ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat bahwa untuk memeperoleh kemerdekaan diperlukan dana untuk perjuangan. Bagi kelompok Moeis modal boleh dimiliki oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.

Problematika Posisi Agama Dalam Partai Politik

Mungkin cukup mudah bagi kita untuk memahami sikap Moeis yang bersikeras mempertahankan posisi agama (Islam) pada posisinya yang sentral di dalam SI. Moeis yang lebih dahulu bergabung dengan SI dibandingkan Semaoen, tentunya sangat memahami latar belakang sejarah SI dan motivasi para pendirinya di dalam membangun organisasi, yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi besar itu. Dalam posisinya sebagai Wakil Ketua CSI, Moeis yang memang punya latar belakang agama yang kuat, kemungkinan besar merasa punya tanggungjawab moril untuk menjaga dan melestarikan azas partai yang telah dibangun dari sejak awal berdirinya. Dalam argumen-argumen yang diajukannya dalam mempertahankan sikapnya, tidak terlihat Moeis menguasai pandangan agamanya secara mendalam.

Sementara itu Semaoen, yang bergabung dengan SI setahun lebih belakangan dari Moeis, namun tumbuh cepat dan menjadi besar di lingkungan SI Semarang, tidak merasa punya ikatan yang kuat dengan azas partai. Bagi Semaoen, yang kebetulan juga berusia jauh lebih muda dari pada Moeis, progresifitas partai dalam memperjuangkan kemerdekaan adalah jauh lebih penting ketimbang perluasan pengaruh agama di dalam masyarakat melalui partai. Sikap ini jelas-jelas ditunjukkannya dalam penolakannya yang keras terhadap keberadaan Volksraad (Dewan Rakyat) dan Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia), yang digagas dan ditawarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini hampir bisa dipastikan juga, pandangan-pandangan Semaoen tentang Marxisme belum terlalu mendalam. Setidaknya sampai tahun 1920 an, dimana hubungan dengan pihak luar – khususnya Rusia, belum begitu intens, paham Marxisme di Indonesia belum begitu dikenal.

Jika kita tarik benang merah antara persoalan posisi/kedudukan agama di dalam tubuh Sarekat Islam saat itu, dengan persoalan-persoalan kepartaian kita saat ini, maka penulis beranggapan bahwa persoalan tersebut masih cukup relevan untuk dipersoalkan lagi dalam ranah persoalan politik kontemporer negeri ini. Terutama mengingat minimnya wacana-wacana ideologis di dalam paradigma politik kita saat ini, terkait dengan semakin merebaknya paham “kebangsaan palsu” (pseudo nationalism) dalam praktik kepartaian kita saat ini.

Paham “kebangsaan palsu” adalah istilah yang coba penulis tawarkan. Penulis tidak tahu apakah sebelumnya sudah ada yang memakai istilah ini, tetapi yang penulis maksudkan dengan istilah tersebut adalah, gambaran terhadap suatu kecenderungan baru di dalam praktik-praktik kepartaian kita saat ini, yaitu kecenderung untuk mengatas namakan paham “kebangsaan” dalam praktik kepartaiannya. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, kecenderungan itu sebetulnya hanya sekedar cara menutupi ketidakmampuan mereka (elit-elit partai) di dalam merumuskan gagasan serta visi dan misi partai secara kongkrit dan rasional. Biasanya dalih yang dipakai adalah: untuk meraih dukungan yang lebih luas dari masyarakat. Dan, tentunya juga: untuk menjadi “partai yang terbuka”. Padahal lagi, dengan kondisi ini, partai kemudian menjadi terlihat lebih tidak rasional lagi.

Jadi, kalau diringkas saja polemik Moeis dan Semaoen dalam persoalan posisi agama (Islam) di tubuh partai, dengan mengabaikan sementara ditel-ditel persoalannya, maka ada dua buah pertanyaan bisa kita ajukan kepada diri kita saat ini. Pertama, apakah dengan tetapnya agama (Islam) sebagai azas partai, sebagaimana yang dipertahankan oleh Moeis saat itu, bisa dianggap sebagai penghambat bagi tumbuhnya progresifitas di tubuh partai dan menghalangi partai untuk tumbuh menjadi besar? Kedua, apakah dengan diterimanya marxisme (sosialisme?) di tubuh partai berbasis agama (Islam), sebagaimana dikehendaki oleh Semaoen ketika itu, bisa pula dipastikan bahwa Islam akan tercemar dan kehilangan kesuciannya?

Jawaban dari kedua pertanyaan ini tentunya tidaklah sederhana. Agaknya tidak ada jawaban yang cukup ringkas untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, yang sekaligus mampu mengelaborasi seluruh persoalan yang melingkupinya. Karena itu, dalam tulisan ini, penulis hanya bermaksud mengajukan beberapa hipotesa awal, dari kemungkinan jawaban yang lebih komprehensif atas persoalan tersebut.

Pertama: Islam Adalah Agama Yang Progresif.

Jika progresifitas diartikan sebagai keinginan atau kehendak untuk maju, atau keinginan untuk merobah keadaan yang tidak baik menjadi lebih baik, maka Islam adalah agama yang sangat menganjurkan penganutnya untuk berlomba-lomba meraih kemajuan. Dengan menempatkan kekuasaan (politik) pada Dzat yang immanent (gaib), yaitu Allah SWT, maka Islam sebetulnya telah menghindarkan dirinya dari persoalan-persoalan perebutan kekuasaan di antara sesama manusia. Jadi tujuan politik (berpolitik) bagi Islam tidaklah semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan. Tujuan politik bagi Islam pada hakekatnya adalah menegakkan kebenaran yang mutlak milik Allah SWT, agar berdiri di atas kebenaran relative milik manusia.

Dengan menempatkan tujuan politik yang seperti itu, secara teoritis Islam sebetulnya telah menempatkan tujuan berdirinya sebuah negara lebih rasional dibandingkan teori politik manapun. Umumnya teori tentang negara, mulai dari Hobbes hingga Kranenburg, beranggapan bahwa negara terbentuk adalah atas kehendak bersama manusia dalam upayanya mewujudkan kehendak bersama manusia itu sendiri. Karena negara sendiri adalah abstrak, maka haruslah dipersonifikasikan ke dalam badan-badan yang melaksanakan fungsi-fungsi kenegaraan, yang mengharuskan terjadinya penyerahan kedaulatan (sebagian atau seluruhnya) oleh satu pihak kepada pihak lainnya. Lalu terciptalah subjek dan objek kekuasaan, di mana ada satu pihak yang berkuasa dan ada satu pihak lainnya yang dikuasai. Inilah irasionalitas itu.

Tujuan berdirinya negara menurut teori politik Islam mungkin lebih pas jika dipadankan dengan teori Plato mengenai “negara ideal”. Jika menurut Islam tujuan negara adalah “dakwah” (dalam pengertiannya yang luas), maka menurut Plato tujuan negara adalah “pengajaran”, yaitu mengajarkan kepada manusia untuk mengenali dunia idea. Hanya bedanya, jika pandangan Plato lebih mengarah kepada terbentuk negara teokrasi, karena pemahaman yang prima terhadap dunia idea merupakan monopoli kalangan tertentu (para filosof), maka teori politik Islam lebih mengarah kepada negara demokrasi. Karena Islam pada hakekatnya tidaklah mengenal monopoli kebenaran oleh satu pihak tertentu di dalam masyarakat. Terutama jika menilik kepada pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan pemikir politik Islam sesudahnya, seperti Hasan al-Banna dan Yusuf Qardhawy.

Kedua: Marxisme dan Islam

Kritik Marx terhadap agama, agaknya memang tidak secara spesifik ditujukan kepada Islam. Selain dari pada itu, kebencian Marx terhadap agama sejatinya lebih banyak didorong oleh peranan institusional agama-agama di dalam masyarakat, yang pada masanya (mungkin juga masa sekarang?) lebih banyak mendukung kekuasaan kaum borjuis. Yaitu dengan menjadikan agama sebagai candu bagi masyarakat. Di dalam Manifesto Komunis Marx dan Engels mengatakan: “Undang-undang moral, agama, baginya adalah sama dengan segala prasangka borjuis, yang di belakangnya bersembunyi segala macam kepentingan-kepentingan borjuis”.

Bagi marxisme, peranan agama di dalam masyarakat yang “seakan-akan” membela kaum tertindas, adalah merupakan penghambat yang potensial bagi terbentuknya antagonisme kelas tertindas itu sendiri. Yang di dalam teorinya adalah merupakan prinsip penting bagi terlaksananya dialektika historis, yang pada gilirannya melahirkan masyarakat tanpa kelas. Dari sudut ini sepertinya memang ada keselarasan dari apa yang diperjuangankan oleh marxisme, dengan apa yang juga hendak diperjuangkan oleh Islam. Yakni mengangkat harkat dan martabat kaum tertindas (mustadh’afin) ke tingkat yang lebih tinggi dan mewujudkan masyarakat yang tanpa kelas (egaliter) di muka bumi.

Pembelaan Islam terhadap kaum tertindas sejatinya tidaklah “seakan-akan”, melainkan kongkrit dan rasional. Zakat adalah merupakan perintah agama yang memiliki kedudukan sangat sentral di dalam Islam. Di samping sebagai kewajiban agama yang bersifat transenden, zakat adalah juga merupakan instrumen ekonomi yang berdimensi sosiologis. Yaitu instrumen di dalam pengalihan dan distribusi kepemilikan (modal dan alat-alat produksi), yang diambil dari sebagian milik kaum borjuis untuk dialihkan dan didistribusikan kepada golongan tak bermilik. Jadi dalam hal ini memang ada perbedaan di dalam cara mencapai tujuan yang sama itu.

Daftar Bacaan

Noer, Deliar – Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1988
Gie, Soe Hok – Di Bawah Lentera Merah, Yayasan Bentang Budaya, 1999 (eBook)
Marx, Karl & Friedrich Engels - Manifesto Partai Komunis, Yayasan "Pembaruan", 1959 (eBook)

RT 06

Oleh : Busyra Q. Yoga
Ketua RT 06/RW 013 Periode 2009-2012

(Untuk menjaga kenyamanan berbagai pihak, lokasi keberadaan RT 06/RW 013 sengaja tidak diungkapkan secara transparan)

RT atau Rukun Tetangga adalah miniatur Indonesia. Jika kita ingin melihat watak bangsa Indonesia di dalam berbangsa dan bernegara lihatlah bagaimana cara mereka berorganisasi di lingkungan mereka dalam wadah Rukun Tetangga (RT). Pernyataan ini mungkin akan terasa berlebihan, terutama jika kita tidak atau belum memahami sepenuhnya apa sebetulnya esensi dari organisasi yang umumnya kita anggap sepele ini.

Kebanyakan orang mungkin beranggapan bahwa RT adalah instansi pemerintah di bawah Kelurahan atau Desa, yang urusannya adalah membuat surat keterangan untuk membuat atau memperpanjang KTP. Selebihnya dari itu, adalah urusan keamanan dan kebersihan lingkungan (sampah), sesekali menggerakkan warga masyarakat untuk melakukan kerja bakti, dan yang selalu dianggap penting adalah menyelenggarakan perayaan peringatan HUT kemerdekaan RI setiap bulan Agustus. Mungkin tidak cukup banyak warga masyarakat yang menyadari, bahwa RT adalah organisasi masyarakat yang dibentuk atas kemauan masyarakat itu sendiri. Bahwa yang di dalamnya terkandung, di samping haknya untuk mendapatkan layanan dalam urusan administrasi pemerintahan, adalah juga kewajibannya untuk berpartsispasi dan terlibat di dalam menentukan maju atau mundurnya organisasi. Dan juga, bahwa pengurus RT tidaklah bertanggung-jawab kepada siapapun selain kepada warganya sendiri.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007, tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Rukun Tetangga, untuk selanjutnya disingkat RT atau sebutan lainnya adalah lembaga yang dibentuk melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa atau Lurah. Selanjutnya pada Pasal 15 disebutkan, RT/RW dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mempunyai fungsi: (1). pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya; (2). pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; (3). pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan pengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat; dan (4). penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.

Tulisan ini memang bukan hasil penelitian yang komprehensif mengenai lembaga ke RT an, sehingga dapat dijadikan rujukan bagi merumuskan keberadaan lembaga ini secara objektif. Tulisan ini hanya semata-mata bertolak dari pengalaman pribadi penulis yang dipilih oleh warga untuk menjadi ketua RT di lingkungan tempat tinggal penulis, sejak bulan Juli 2009. Ditambah dengan pengamatan partsisipatif penulis terhadap perjalanan lembaga tersebut, sejak berdirinya di tahun 1992.

RT 006/RW 013 berdiri adalah sebagai akibat logis dari pemekaran RW 011, sehubungan dengan pertambahan jumlah penduduk (KK) yang menempati rumah masing-masing di komplek perumahan yang berdiri sejak tahun 1989 itu. Ketua RT yang pertama adalah salah seorang warga (berarti tetangga penulis), yang sebelumnya telah berpatisipasi di dalam kepengurusan RW 011. Sehingga penunjukannya sebagai Ketua RT tidak melalui pemilihan, melainkan langsung ditunjuk oleh Ketua RW 013 yang baru dibentuk. Yang bersangkutan menjabat sebagai ketua RT selama 8 tahun, tanpa ada “cut-off” dan tanpa pemilihan ulang. Sang Ketua RT merasa senang, dan warga juga merasa senang. Kebetulan sang Ketua RT tersebut termasuk salah seorang yang cukup berada pada saat itu dan cukup dermawan, sehingga sering kali tidak sungkan merogoh kocek sendiri untuk menutupi berbagai kebutuhan organisasi yang tak dapat dipenuhi oleh iuran warga.

Semua berjalan normal dan baik-baik saja. Pertemuan warga secara rutin dapat terselenggara setiap bulan, dengan lokasi pertemuan bergiliran dari satu rumah warga ke rumah warga lain pada bulan berikutnya. Sehingga tali silaturrahmi sesama warga dapat terjaga dengan baik. Berbagai acara dan perayaan-perayaan tujuh belas agustusan selalu diselenggarakan dengan cukup meriah. Bahkan semasa kepemimpinan beliau ini kami berhasil membuat lampu penerangan jalan yang tertata rapi, dengan meteran sendiri, atas swadaya masyarakat. Sebagai informasi saja, umumnya lampu penerangan jalan di komplek kami ini terselenggara dengan cara “nyantel” ke tiang listrik PLN. Pendek kata kepemimpinan Ketua RT yang pertama ini, adalah yang terbaik sepanjang sejarah RT 06.

Lalu tibalah masanya Ketua RT yang pertama ini merasa “capek”, dan kemudian menyelenggarakan pemilihan ketua RT yang baru untuk menggantikan beliau. Pemilihanpun berjalan mulus, dan yang terpilih sebagai Ketua RT yang baru adalah mantan sekretaris ketua RT yang lama. Berbeda dengan ketua RT yang lama, ketua RT yang baru ini tidaklah “se-berada” ketua RT yang lama. Tetapi beliau ini sangat rajin dan tulus di dalam menjalankan tugas-tugasnya. Baik ketika menjabat sebagai sekretaris ketua RT yang lama, maupun ketika menjabat ketua RT yang baru. Bahkan beliau ini tidak sungkan-sungkan pula untuk mendatangi masing-masing rumah warga, untuk menarik uang iuran warga setiap bulannya.

Sayangnya, sejak peralihan kepemimpinan di RT 06 ini, sejak itu pula pertemuan warga yang sebelumnya rutin diselenggarakan, tidak lagi dapat diselenggarakan. Begitu pula dengan kepengurusan periode berikutnya (ke 3 dan ke 4). Banyak faktor yang bisa ditunjuk sebagai penyebab kenapa hal ini terjadi. Salah satu yang penulis anggap penting adalah, perubahan pada struktur ekonomi masing-masing warga. Yang tadinya tingkat ekonominya “biasa-biasa saja”, sesuai perkembangan karir ditempat kerja atau usahanya, kemudian status ekonominya telah meningkat lebih baik. Tidak adanya lagi pertemuan warga yang rutin, menyebabkan individualisme di lingkungan warga RT 06 ini telah meningkat cukup tajam. Penulis (yang pengamat partisipatif..he..he..) hampir selalu mengingatkan kepada ketua RT terpilih, untuk menghidupkan kembali lembaga pertemuan warga tersebut, yang menurut penulis sangat penting bagi keberlangsungan organisasi ke RT an itu sendiri. Pertemuan warga hendaknya dijadikan forum pengambilan keputusan tertinggi, di mana pengurus hanya menjadi pelaksana bagi kehendak warga yang diputuskan melalui forum tersebut. Tapi hal itu tidak pernah berhasil diselenggarakan lagi.

Sejak itu pula kepengurusan RT 06 berjalan seadanya. Laporan keuangan berkala dan laporan dari berbagai program yang dijalankan, tidak lagi dapat diselenggarakan. Eloknya, warga tidak ada yang protes. Alih-alih melayani kepentingan warga untuk kemajuan bersama – di luar urusan rutin dan kepentingan administrasi pemerintahan, kepengurusan lebih banyak melayani kepentingan segolongan elit tertentu yang mampu “menyumbang” lebih banyak dari warga lainnya. Blok-blok kepentinganpun tercipta tanpa arah yang jelas. Hubungan di antara sesama warga seringkali menimbulkan friksi-friksi negatif dan pada gilirannya melahirkan rasa saling curiga mencurigai satu sama lainnya. Beberapa warga yang mengalami masa kepemimpinan Ketua RT pertama sudah banyak pula yang meninggal dunia atau pindah dan tidak lagi tinggal di RT 06. Sementara itu warga-warga barupun muncul. Sehingga menambah kerumitan dalam kepengurusan RT 06.

Problematika Kepengurusan RT 06 Periode 2009-2012

Akhirnya tiba pulalah saatnya pergantian kepengurusan RT 06, pada bulan Juli 2009. Ketua RT yang lama (ke 4) tidak lagi bersedia di pilih, karena berniat untuk pindah ke lokasi perumahan yang lebih elit. Menghadapi kerumitan persoalan kepengurusan sebagaimana dikemukakan di atas, tidak banyak lagi warga yang ingin menjadi ketua RT. Beberapa tokoh yang dianggap potensial untuk menggantikan pengurus lama, memilih untuk tidak hadir pada saat pemilihan berlangsung. “Tak ada rotan akarpun jadi”, begitulah mungkin anggapan sebagian warga, ketika sebagian besarnya menjatuhkan pilihan mereka kepada penulis untuk menjadi ketua RT 06 periode 2009-2012.

Sebetulnya hanya ada satu alasan saja, yang membuat penulis bersedia untuk dicalonkan. Yakni untuk menghidupkan kembali pertemuan warga secara rutin, dan menjadikannya sebagai forum tertinggi di dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Itupun karena sudah terlanjur disuarakan sejak kepengurusan kedua, ketiga dan keempat. Dengan mengucap “bismillahirrahmanirrahim” di dalam hati, penulispun menerima tanggung jawab yang mulia lagi penting itu. Setelah selesai menyusun formasi kepengurusan lengkap, berikut seksi-seksi (semuanya berjumlah 8 orang), maka dimulailah upaya-upaya yang diperlukan untuk mewujudkan misi tunggal itu. Dan bagian ini adalah bagian terpenting dari keseluruhan cerita ini, karena berkaitan dengan keberlangsungan eksistensi RT 06 ke depan. Dan penulis telah bertekad untuk mempertaruhkannya.

Upaya mewujudkan misi itu kemudian terbukti tidaklah mudah.Yang pertama sekali penulis lakukan adalah menyusun program kerja berikut rencana anggaran dan penerimaan untuk tiga tahun ke depan, setelah mendapat masukan seperlunya dari seksi-seksi yang ada. Termasuk di dalamnya program renovasi lampu jalan, yang sudah tertunda lama sejak kepengerusan Ketua RT yang ke 3. Lampu jalan perlu direnovasi karena, baik dari segi tinggi tiang dan juga modelnya tidak memenuhi syarat secara teknis. Bulan Oktober 2009 digelarlah “musyawarah warga” (ini istilah baru yang penulis perkenalkan menggantikan istilah “pertemuan warga”), dengan agenda tunggal mengesahkan program kerja serta anggaran penerimaan dan pendapatan RT 06 periode 2009-2012. Hal mana belum pernah dilakukan oleh pengurus-pengurus sebelumnya. Musyawarah warga yang pertama ini gagal total, karena jumlah warga yang hadir tidak mencapai quorum dari total warga yang berjumlah 50 KK. Dan penulis bertekad untuk tidak mengambil keputusan apapun jika musyawarah warga tidak mencapai quorum.

Musyawarah warga kedua diselenggarakan 19 Desember 2009. Musyawarah kali ini dapat mencapai quorum, terutama karena penulis bersama-sama dengan sekretaris RT, berinisiatif untuk mengetuk masing-masing rumah warga yang belum hadir dan meminta mereka untuk segera hadir. Musyawarah kali ini tidak lagi mengagendakan pengesahan program kerja dan anggaran, karena sebelumnya telah dilangsungkan pertemuan pengurus yang membahas teknis pelaksanaan renovasi lampu jalan. Mayoritas pengurus menyarankan untuk tidak usah pake program-program dan anggaran-anggaranan. Yang penting laksanakan aja dulu, nanti kalau uangnya kurang baru mintakan warga (mengacu pada paradigma yang lama). Penulispun mengalah dalam soal ini dan tak hendak memaksakan kehendak sendiri. Penulis berkeyakinan, jika saja musyawarah warga bisa terlaksana sebagaimana yang direncanakan, kesadaran warga akan perlunya perencanaan dalam sebuah program kerja, bisa ditumbuhkan secara perlahan. Musyawarahpun berhasil mengambil keputusan, bahwa musyawarah warga diselenggarakan setiap 3 bulan sekali dan semua warga wajib menghadirinya. Bagi yang berhalangan sekali, diwajibkan mengirimkan wakilnya atau setidaknya membuat pernyataan tertulis bahwa yang bersangkutan akan tunduk pada semua keputusan yang dihasilkan musyawarah.

Tibalah saatnya untuk menguji hasil keputusan itu. Tanggal 10 April 2010 direncana musyawarah warga ketiga, dengan agenda membahas perubahan sistem dan besaran iuran warga serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan renovasi lampu jalan. Penulis beranggapan sistem iuran bulanan yang pukul rata selama ini, tidak adil dan memberatkan bagi warga dengan tingkat ekonomi tertentu. Sistem iuran akan dibuat bergradasi sesuai dengan type rumah, dan betingkat atau tidaknya rumah warga. Sayang memang, hasil keputusan musyawarah sebelumnya ternyata tidak berbekas sama sekali. Lagi-lagi jumlah warga yang hadir tidak memenuhi quorum dan tidak satupun surat pernyatan tertulis yang dibuat. Gagasan perubahan sistem iuran memang disampaikan juga kepada warga dan mendapat dukungan dari semua yang hadir (sekitar 20 an KK), tetapi penulis tidak hendak menganggapnya sebagai keputusan organisasi. Dan penulis memilih untuk melancarkan jurus terakhir, jurus yang akan menentukan kelanjutan eksistensi RT 06 kedepan!

Solusinya?

Jurus terakhir itu adalah: membekuan kepengurusan RT 06 periode 2009-2012. Dan itu, tidak lain, adalah juga berarti pembubaran RT 06! Sampai ada warga yang berinisiatif lagi untuk membentuk panitia dan melakukan pemilihan ketua RT 06 yang baru. Karena penulis sendiri berpendirian bahwa penulis bukanlah mengundurkan diri, karena itu tidak berkewajiban membentuk panitia pemilihan. Atau, kemungkinan lain adalah, RT 06 akan diselenggarakan menurut sistem “RT cowboy”. RT cowboy adalah istilah penulis sendiri, dan ini memang ada faktanya di lingkungan perumahan penulis tinggal, yaitu seseorang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua RT, melaporkan dirinya telah dipilih oleh warga kepada RW dan Lurah, dengan begitu dia mendapat bantuan dari kelurahan sebesar Rp. 300.000,- setiap tiga bulan. Enak, toh?

Untuk tujuan itu penulis mengundang semua pengurus untuk rapat, membahas kemungkinan pembekuan tersebut, dengan membuat tembusan kepada Ketua RW 013 sebagai pemberitahuan. Tak lupa penulis mencantumkan sebuah catatan penting, bahwa apabila rapat pengurus itu tidak memenuhi quorum, maka penulis akan mengumumkan secara sepihak pembekuan kepengurusan RT 06 kepada seluruh warga. Alhamdulillah, ada 5 orang pengurus yang hadir, dan penulis menganggap itu cukup valid untuk mengambil keputusan. Keputusannya adalah, membawa persoalan tersebut ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu musyawarah warga luar biasa dan mengundang Ketua RW 013 untuk hadir juga sebagai saksi. Akhirnya dipilihlah tanggal 13 Juni 2010 sebagai waktu pelaksanaan musyawarah warga luar biasa tersebut.

Lalu dikirimlah undangan kepada seluruh warga sesuai hasil keputusan rapat pengurus tersebut, dengan menjelaskan duduk persoalan serta agenda yang hendak dibahas di dalam musyawarah warga luar biasa tersebut. Dan tak lupa pula dicantumkan catatan penting itu, bahwa jika musyawarah tidak mencapai quorum maka otomatis kepengurusan dibekukan. Undangan yang sama juga dikirmkan kepada ketua RW 013, yang ternyata datang bersama dua orang stafnya. Singkat kata hari yang ditentukan itupun tiba. Setelah acara dibuka oleh sekretaris dan sambutan dari ketua RW disampaikan, tibalah giliran penulis untuk memimpin pembahasan. Dengan membacakan jumlah warga yang hadir dari daftar hadir yang disediakan, yang ternyata tidak memenuhi quorum (hanya ada 17 KK), maka penulispun mengumumkan bahwa kepengurusan resmi dibekukan dan tidak ada pembahasan untuk itu lagi. Kecuali tanya jawab diseputar keputusan yang diambil tanpa dapat mempengaruhi keputusan itu sendiri. Semua yang hadirpun seketika terhenyak.

Sebelum tanya jawab dibuka, terlebih dahulu penulis menyampaikan perkiraan penulis sendiri mengenai alasan gagalnya musyawarah tersebut. Kemungkinan pertama adalah, mayoritas warga tidak menghendaki terpilihnya penulis sebagai ketua RT, tetapi tidak punya keberanian menunjukkan sikapnya secara terbuka dan terus terang. Padahal jika saja mereka menunjukkan sikapnya, penulispun tidak akan keberatan dilakukan pemilihan ulang. Kemungkinan kedua adalah, mayoritas warga tidak menghendaki organisasi ke RT an ini sendiri. Mereka hanya butuh ada orang yang melayani kebutuhan mereka, mengurusi sampah mereka dan merasa kewajiban mereka sudah selesai dengan membayar iuran yang diwajibkan kepadanya. Padahal semua pengurus, termasuk ketuanya, membayar juga kewajiban yang sama. Dan sejak awal berdiripun memang disepakati bahwa tidak ada imbalan apapun bagi pengurus, termasuk ketuanya. Inilah ketidak adilan itu! Sebagian orang menganggap organisasi ini penting (yang ditunjukkannya dengan hadir) sementara sebagian besar lainnya menganggap tidak penting. Lalu kenapa organisasi ini harus ada, padahal keanggotaan organisasi ini adalah bersifat otomatis (stelsel pasif). Begitulah kira-kira argumen yang penulis kemukakan, seraya tak lupa menjelaskan berbagai kemungkinan yang harus dihadapi bersama pasca keputusan ini dijalankan.

Dengan begitu terjadilah perdebatan yang lumayan sengit, khususnya antara penulis dengan mantan ketua RT lama (yang ke 3, yang kebetulan hadir) dan mantan pengurus lama lainnya. Umumnya mereka beranggapan penulis telah terburu-buru mengambil keputusan dan tidak mengajak warga untuk berembug terlebih dahulu (padahal undangan sudah disebar merata dan musyawarah tersebut dimaksudkan justru untuk berembug). Bahkan beliau (mantan ketua RT lama) berulangkali menegaskan, bahwa beliau sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa mayoritas warga masih menghendaki penulis sebagai ketua RT dan mayoritas warga juga tidak menghendaki kepengurusan dibekukan. Sayangnya beliau tidak dapat menjelaskan argumen yang logis yang mendasari keyakinannya itu. Begitulah, perdebatan itupun kemudian berlarut-larut dan menjurus menjadi debat kusir.

Belakangan ketua RW, yang semula mengambil posisi hanya sebagai saksi, akhirnya angkat bicara dan mencoba mengajukan usulan sebagai jalan tengahnya. Usulan beliau sederhana saja, tetapi sangat masuk akal dan diterima oleh semua pihak yang hadir. Usulan beliau adalah, keputusan musyawarah malam itu tidak bersifat final, tetapi segera diselenggarakan musyawarah warga luar biasa ulangan pada menjelang bulan puasa, dan semua yang hadir berkewajiban menghadirkan minimal satu tetangganya yang tidak hadir dan menghadirkannya pada musyawarah ulangan itu.

Begitulah, musyawarah warga luar biasa RT 06 malam itupun ditutup dengan damai, dengan menyisakan sebuah pertanyaan lagi dibenak penulis: akan bagaimanakan nasibnya RT 06 ke depan, pasca diselenggarakannya musyawarah luar biasa ulangan pada akhir Juli atau awal Agustus mendatang?

FEDERASI SERIKAT PEKERJA MEDIA: ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN

FEDERASI SERIKAT PEKERJA MEDIA: ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN
Oleh: Busyra Q. Yoga (*)




Perlukah mendirikan federasi serikat pekerja media saat ini? Saat dimana gerakan serikat pekerja pada umumnya sedang dipinggirkan kembali, setelah “seakan-akan” diberi kemudahan pasca tumbangnya rezim Orde Baru pada Mei 1998. Sementara pada sisi lain, isu mengenai pendirian serikat pekerja di kalangan para pekerja media, relatif masih tergolong baru. Meski sebagian pekerja media, khususnya wartawan, banyak yang bersentuhan langsung pada isu-isu perjuangan serikat buruh melalui liputan-liputan yang mereka lalukan.


I. PENDAHULUAN

Pada awal berdirinya republik, gerakan buruh di Indonesia mengalami masa yang relatif baik. Para pendiri bangsa yang banyak bersentuhan dengan sosialisme – sebagai inspirasi di dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda, memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi gerakan buruh di tanah air. Beberapa orang perwakilan buruh duduk di Dewan Perancang Nasional dan Dewan Pertimbangan Agung, untuk menyuarakan kepentingan buruh pada level negara.1 Sayang, pengkhianatan PKI pada tahun 1965, memberi andil yang besar bagi pemberangusan gerakan buruh pasca keruntuhan rezim Orde Lama.

Pada awal peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama (1945-1966), pemerintah Orde Baru (1966-1998) yang didominasi kalangan militer (angkatan darat) bergerak cepat mengkonsolidasikan gerakan buruh. Melalui sebuah seminar yang disponsori sebuah lembaga asing pro pasar bebas, disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang akan didukung oleh Orde Baru:

1. Gerakan Buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun;
2. Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar;
3. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal sosial ekonomis;
4. Penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada penyatuan;
5. Perombakan pada struktur keserikatburuhan, mengarah pada serikat sekerja untuk masing-masing lapangan pekerjaan.

Konsolidasi tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk berdirinya FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono, mantan ketua Gasbiindo, dan sekjennya adalah Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi Khusus, pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang dilepaskan dari kekuatan politik manapun—dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI selalu diambil dari kader-kader Golkar.2




(*)____Ketua dan salah seorang pendiri Forum Karyawan SWA (FKS)
Tulisan ini dibuat dan disajikan dalam rangka seminar “Kondisi Industri Media dan Tantangan Serikat Pekerja Media” yang diselenggarakan oleh Komite Persiapan Federasi Serikat Pekerja Media-Independen (KP-FSPM-Independen), 25 Juli 2009, di YTKI, Jakarta.
Pada tahun 1985 FBSI bersalin rupa menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yaitu bersamaan dengan diperkenalkannya konsep “azas tunggal” yang sangat anti pada pluralitas. Sejak itu pula dimulailah era wadah tunggal bagi serikat buruh yang membungkam elemen-elemen serikat buruh progresif.

Berawal dari krisis moneter yang melanda hampir seluruh kawasan Asia menjelang akhir 1997, Orde Baru pun tumbang melalui gerakan aksi mahasiswa yang mendesak Soeharto lengser dari jabatannya setelah berkuasa selama 32 tahun. Sebagai implementasi dari Letter of Intent dengan pihak IMF yang ditandatangani oleh Soeharto menjelang lengser-nya, maka seminggu setelah dilantik, Presiden B.J. Habibie pun meratifikasi konvensi ILO No. 87 yang menjamin kebebasan berserikat bagi buruh di Indonesia. Lalu berturut-turut lahir UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja /Serikat Buruh (ditandatangani Presiden K.H. Abdurrahman Wahid), UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (ditandatangani Presiden Megawati Soekarno Putri) dan UU No. 2 tahun 2004 (ditandatangani Presiden Megawati Soekarno Putri). Yang kemudian lebih dikenal sebagai “paket 3 undang-undang perburuhan”.

Sepintas lalu sepertinya angin segar bertiup ke arah gerakan serikat buruh yang telah “tiarap” selama rezim Orde Baru berkuasa. Serikat buruh/serikat pekerja barupun bermunculan bak cendawan dimusim hujan. Namun segera kemudian terlihat, bahwa paket 3 UU Perburuhan tersebut ternyata tak lebih dari upaya kaum neo-liberal internasional melalui agen-agennya (IMF dan Bank Dunia) untuk membuat regulasi perburuhan di tanah air menjadi lebih compatible dengan system ekonomi pasar. Secara garis besar paket 3 UU Perburuhan sesungguhnya melegitimasi informalisasi relasi perburuhan dengan menyingkirkan peran Negara dari dinamikanya.3 Terbukti dengan semakin masifnya praktek-praktek yang menerapkan konsep flexible labour market (buruh kontrak, outsourcing, buruh harian lepas, kerja paruh waktu, dll), yang menyebabkan buruh semakin kehilangan posisi tawarnya. Kondisi buruh yang semakin rentan ini pada gilirannya juga menyulitkan pengorganisasian mereka ke dalam serikat pekerja/serikat buruh.

Pada sisi lain, ketika Orde Baru berkuasa hampir semua wartawan tergabung ke dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Baik suka maupun tidak suka. Karena sistemnya memang dibuat seperti itu. Keanggotaan seseorang pada organisasi PWI menjadi syarat yang menentukan bagi seorang wartawan untuk menduduki jabatan-jabatan penting pada sebuah perusahaan media. Represi dalam koteks ini dialami oleh Goenawan Moehammad, yang dicopot jabatannya sebagai pemimpin redaksi Majalah SWA, ketika ia diketahui ikut menggagas berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 1994 (yang dianggap sebagai upaya untuk menandingi eksistensi PWI).

Seperti halnya SPSI, organisasi PWI pada hakekatnya adalah juga merupakan wadah tunggal yang diciptakan pemerintah Orde Baru untuk mengontrol aktifitas wartawan. Hanya saja, berbeda dengan SPSI, PWI adalah organisasi profesi yang tidak secara langsung bersentuhan dengan masalah-masalah kesejahteraan maupun hak-hak dan kepentingan anggotanya yang bekerja pada perusahaan-perusahaan media. PWI lebih banyak berkecimpung dalam soal-soal kode etik profesi kewartawanan atau lebih sering disebut kode etik jurnalistik. Sehingga ketika isu serikat pekerja mulai bergulir pasca kejatuhan rezim Orde Baru, kebanyakan pekerja media (termasuk di dalamnya para wartawan) merasa gamang pada isu yang baru ini. Sebagian di antaranya berlindung pada predikat “profesional” yang disandangnya, sementara sebagian lainnya cenderung bersikap hati-hati dan bahkan banyak pula diantaranya yang tidak mau ambil peduli.


II. PERLUNYA FEDERASI SERIKAT PEKERJA MEDIA

Di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pertama yang berhasil disepakati antara Forum Karyawan SWA (FKS) dengan pihak manajemen Majalah SWA (periode 2002-2004), terdapat satu ayat (Bab II, Pasal 6, ayat 3) yang berbunyi sebagai berikut: “

Perusahaan mengakui hak Forum Karyawan untuk mengembangkan diri dan organisasi, baik pada tingkat perusahaan maupun federasi, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip berorganisasi yang benar. Sebaliknya Forum Karyawan juga mengakui hak Perusahaan untuk mengembangkan diri dan organisasi, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip berorganisasi yang benar”.

Artinya, sejak awal berdirinya, para pendiri FKS (berdiri 31 Juli 2001) memang sudah sangat menyadari, bahwa setelah FKS berhasil didirikan maka langkah berikutnya adalah menjadikannya bagian dari sebuah federasi serikat pekerja. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, federasi serikat pekerja seperti apa yang pas untuk menjadi induknya FKS yang baru berdiri itu. Hal semacam ini mungkin juga telah dialami oleh beberapa serikat pekerja media yang sudah berdiri lebih dahulu. Terbukti beberapa di antaranya “terpaksa” bergabung dengan federasi serikat pekerja dengan orientasi yang sangat luas (federasi SP non-sektoral), sehingga aspirasi mereka cenderung terabaikan.

Federasi adalah gabungan beberapa serikat pekerja basis (tingkat perusahaan) yang membuat komitmen bersama untuk bergabung. Menurut UU No. 21 tahun 2000, jumlahnya minimal terdiri dari 5 serikat pekerja basis. Maka untuk menjawab pertanyaan di atas, beberapa asumsi berikut ini diharapkan bisa mengarahkan kita menemukan jawabnya.

Pertama, hingga saat ini belum ada federasi serikat pekerja yang secara khusus menaungi serikat-serikat pekerja media yang sudah ada. Di dalam daftar federasi serikat pekerja yang dikeluarkan Departemen Tenaga Kerja tahun 20024, memang ada tercantum nama Federasi Serikat Pekerja Kewartawanan Indonesia (F.SP. PEWARTA) dan Federasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam kasus F.SP.PEWARTA, hingga kini belum/tidak terlihat aktifitas yang berarti serta upaya-upaya kongkrit yang dilakukan untuk mengkordinasikan serikat-serikat pekerja media yang ada. Sementara dalam kasus AJI, meski upaya-upaya kordinasi yang dilakukan cukup gencar, namun karena statusnya adalah juga orgnanisasi profesi (beranggotakan individu) sehingga mengalami kesulitan yang berarti untuk berkiprah pada tingkat basis (bipartit).

Kedua, berdasarkan survey yang dilakukan AJI Jakarta4, terdapat banyak sekali kelemahan di dalam pengorganisasian serikat pekerja media selama ini. Pada tahun itu ada kurang lebih 1000 perusahaan penerbitan pers (media cetak) yang eksis. Dari jumlah itu hanya tercatat kurang dari 30 an serikat pekerja di seluruh Indonesia. Dan dari ke 30 an serikat pekerja tersebut, sebagian besarnya dalam kondisi yang “mati suri”. Ada, tapi tidak jelas aktifitasnya. Dibandingkan serikat pekerja pada sektor manufaktur, maka serikat pekerja pada sektor media masih tertinggal sangat jauh.

Yang ketiga, dari hasil survey itu juga terungkap, bahwa dari 28 serikat pekerja yang diteliti ternyata persepsi dan orientasi para pengurus/aktivis serikat pekerja media terhadap isu-isu strategis masih sangat beragam. Soal isu saham kolektif 20 % misalnya. Beberapa aktivis menganggap itu penting, sementara yang lainnya menganggap itu tidak penting. Yang paling fatal tentunya isu mengenai fungsi dan tugas sebuah serikat pekerja itu sendiri. Sebagian besar pengurus serikat pekerja media saat ini masih beranggapan bahwa fungsi dan tujuan didirikannya serikat pekerja hanyalah sebatas sebagai “jembatan” yang menghubungkan kepentingan karyawan dan kepentingan manajemen. Jika ada masalah atau sengketa perburuhan maka itu bukan lagi tugas serikat pekerja.

Yang keempat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah, upaya-upaya pemberangusan serikat pekerja (union busting) yang dilakukan secara sistematis oleh pihak pengusaha. Tidak hanya di tingkat perusahaan - di mana sebuah serikat pekerja didirikan, seperti misalnya ancaman pembubaran dan kriminalisasi terhadap aktivis dan pengurusnya, bahkan juga pada tingkat legislasi di mana sistem hukum perburuhan ditentukan (sebagaimana dialami paket 3 UU Perburuhan).

Anwar “Sastro” Ma’ruf dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM) yang diundang sebagai narasumber pada salah satu rapat persiapan pendirian Federasi Serikat Pekerja Media-Independen di Majalah SWA pada tanggal 8 Desember 2007, mengungkapkan pentingnya pendirian federasi serikat pekerja media adalah a) menjadi representasi buruh media pada lembaga tripartit nasional, dan b) menjadi representasi buruh media dalam gerakan serikat buruh Indonesia. Tidak adanya perwakilan buruh/pekerja media di dalam lembaga tripartit nasional menyebabkan aspirasi buruh/pekerja media tidak terakomodasi di dalam paket-paket kebijakan pemerintah dan regulasi ketenagakerjaan.


III. TANTANGAN PENGORGANISASIAN SERIKAT PEKERJA MEDIA

Serikat Pekerja Media adalah serikat pekerja-serikat pekerja yang beroperasi di dalam perusahaan media, baik cetak (koran, majalah, tabloid, dll), elektronik (radio, televisi) dan media on-line (portal). Berdasarkan survey AJI Jakarta5 serta beberapa tulisan pengamat perburuhan, maka ada banyak sekali tantangan yang mesti dihadapi oleh para aktvis dan penggerak serikat pekerja media di dalam mengorganisir dirinya.

Namun pada garis besarnya tantangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal. Tantangan internal adalah tantangan yang berasal atau datang dari diri para pengurus/aktivis, anggota dan calon anggota serikat pekerja itu sendiri. Tantangan eksternal adalah tantangan yang berasal atau datang dari luar organisasi serikat pekerja. Dalam hal ini tantangan internal juga dapat dibagi dua. Yaitu tantangan internal yang umum, artinya tantangan internal yang dihadapi oleh umumnya serikat pekerja, dan tantangan internal yang khas dihadapi oleh serikat pekerja media.


Tantangan Internal Yang Umum

Di sini tidak akan dibahas panjang lebar mengenai tantangan internal yang umum ini, karena masalah ini sudah banyak diungkap di dalam berbagai pertemuan dan diskusi-diskusi keserikat pekerjaan, baik di sektor industri manufaktur maupun jasa. Di sini kami hanya mencoba mengungkapkan beberapa item penting tantangan internal pengorganisasian serikat pekerja yang umumnya di hadapi oleh hampir semua serikat pekerja. Di antaranya adalah:

• Lemahnya kesadaran dan kemampuan berorganisasi para pekerja;
• Keengganan pekerja untuk mengambil posisi yang berseberangan dengan manajemen meski kebijakan manajemen jelas-jelas merugikan dirinya;
• Rendahnya pengetahuan kaum pekerja tentang hak yuridisnya sebagai pekerja;
• Kesulitan menghimpun dana organisasi;
• Tidak punya waktu yang cukup untuk berorganisasi;
• Status kerja yang rawan (pekerja kontrak dan outsourcing)

Dan, sebetulnya ada banyak lagi kendala-kendala internal yang dihadapi para pekerja yang berniat mengorganisir diri di dalam sebuah serikat pekerja. Namun satu hal hendaknya dipahami oleh aktivis serikat pekerja, bahwa di dalam percaturan kepentingan antara pihak pengusaha (pemilik modal) dengan pihak pekerja (kaum proletar) tidak ada kata untuk “kepentingan bersama” yang hakiki. Secara hakiki memang kepentingannya berbeda. Bahkan bisa dikatakan bertolak belakang, yang mustahil untuk didamaikan tanpa mengorbankan kepentingan yang satu terhadap lainnya.

Hal ini bisa ditelisik pada prinsip ilmu ekonomi (kapitalisme) yang paling dasar. Pada satu sisi para pengusaha (yang paling bodoh sekalipun) akan berprinsip bahwa, dengan mengeluarkan sesedikit mungkin modal diharapkan dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebaliknya seorang pekerja yang waras (tidak gila) akan berprinsip bahwa, dengan mengeluarkan sesedikit mungkin tenaga, waktu dan pikirannya, mengharapkan penghasilan yang sebesar-besarnya. Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, yang juga diterapkan di negara kita (meski diakui dengan malu-malu), perimbangan kekuatan di antara keduanya semata-mata ditentukan oleh mekanisme pasar. Yang unggul akan mendiktekan kepentingannya pada yang lemah.

Jika surplus modal (dari keuntungan bisnis) senantiasa terkoreksi oleh kecenderungan manusia untuk hidup dalam kemewahan – yang tak mengenal batas – sehingga suplay modal ke pasar selalu terkontrol, maka surplus tenaga kerja ke pasar relatif sulit dikoreksi, sehingga posisi tawarnya menjadi rendah. Di sini titik equilibrium secara exact menempatkan pengusaha pada posisi yang superior di satu pihak, dan pekerja pada posisi yang sub-ordinant di pihak lainnya. Kenyataan ini telah memberikan peluang yang sangat besar bagi pengusaha untuk mendiktekan kepentingannya terhadap kelas pekerja.

Karena itu perlu hendaknya disadari baik-baik oleh setiap pekerja, bahwa kekuatan modal (uang dan penguasaan atas alat-alat produksi) yang begitu perkasa, hanya dapat diimbangi – jika tak ingin mengatakan “dilawan” – oleh kekuatan kolektivitas para pekerja yang bernaung di dalam serikat-serikat pekerja yang mereka bentuk. Dengan begitu posisi tawarnya bisa ditingkatkan lebih baik. Dengan kata lain, pembentukan serikat pekerja adalah suatu keniscayaan yang mesti dilakukan dengan bersungguh-sungguh oleh setiap pekerja, betapapun sulitnya upaya untuk itu.


Tantangan Internal Khas Serikat Pekerja Media

Kalau kita merunut ke belakang, setidaknya ke masa awal-awal berkuasanya rezim orde baru, umumnya perusahaan-perusahaan media cetak didirikan atau dipimpin oleh wartawan-wartawan yang menonjol pada zamannya. Sebut saja, misalnya, Goenawan Mohamad, yang mendirikan majalah mingguan TEMPO. Atau mendiang P.K.Ojong dan Jacob Oetama, yang pada tahun 1967 mendirikan koran harian KOMPAS, sebagai contoh soal. Kemudian para pendiri ini mengajak “kawan-kawan” wartawan lainnya untuk bergabung memajukan perusahaan yang mereka dirikan.

Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ada banyak perusahaan-perusahaan media, lebih khusus perusahaan media cetak, yang umumnya dikelola secara “kekeluargaan”, dimana batasan antara pekerja dan pemilik kabur adanya. Pada kasus seperti di atas biasanya sistem manajemen kepersonaliaan (human resources management system) yang baik dan baku cenderung diabaikan. Transparansi sistem kepersonaliaan (penggajian, penilaian karya, career pad, dll) menjadi barang yang langka.

Maka tantangan itu muncul, pertama, orang-orang yang dekat dengan pimpinan, atau yang diuntungkan oleh sistem yang “abu-abu” tersebut akan ogah untuk diajak mendirikan atau ikut bergabung ke dalam serikat pekerja. Alasannya jelas, mereka sudah merasa nyaman pada posisnya. Yang kedua, orang-orang yang tidak dekat kepada pimpinan atau bahkan “tidak disukai”, umumnya berada pada posisi yang “rawan” yang membuat dia tidak memiliki keberanian untuk mendirikan maupun bergabung pada sebuah serikat pekerja.

Oleh karena itu, perlu hendaknya disadari oleh setiap aktivis dan penggerak serikat pekerja di perusahaan media, bahwa disamping isu-isu mengenai hak-hak normatif yang umum (gaji, lembur, tunjangan-tunjanga, dll), maka adalah penting untuk mengintrodusir isu-isu mengenai keadilan kepada para pekerja media. Beberapa perusahaan media tertentu mungkin sudah menggaji wartawannya cukup baik (di atas standar upah layak versi AJI Jakarta), namun masih tetap memberlakukan sistem kontributor, wartawan lepas, outsourcing dan lain sebagainya.

Pada sisi lain, temuan Trade Union Rights Centre (TURC) yang disampaikan oleh Rita Olivia Tambunan dalam workshop “Menuju Federasi Serikat Pekerja Media” di Hotel Mutiara Carita, tanggal 26 Januari 2008, patut pula untuk dikemukakan di sini. Menurut Rita: “Beberapa rekan aktivis buruh media, terutama mereka yang berasal dari sektor media cetak, mengakui bahwa mereka yang bertitel ‘jurnalis’ terasa masih menempati kelas elite tersendiri di lingkungan kerjanya. Situasi ini menjadi gap tersendiri di internal buruh media, misalnya kesulitan untuk menemukan isu-isu bersama (common issues) yang dapat menyatukan kepentingan” 6.

Dalam kasus semacam ini, para pekerja non-jurnalis umumnya enggan mengambil inisiatif untuk memulai gerakan. Sebab, jika inisiatifnya itu tidak disetujui oleh para jurnalis di perusahaan tersebut, hampir bisa dipastikan inisiatif itu akan tenggelam dengan sendirinya. Maka, untuk menemukan isu bersama, para aktivis atau penggerak serikat pekerja media perlu kiranya memiliki kepekaan tersendiri terhadap isu-isu krusial di perusahaan yang melibatkan atau berdampak kepada kebanyakan atau seluruh karyawan.

Pengalaman berdirinya Forum Karyawan SWA mungkin bisa diambil sebagai inspirasi, bagaimana isu krusial di perusahaan dapat dikelola dengan baik untuk kepentingan serikat. Di awal tahun 2001 manajemen SWA mengumumkan akan ada kenaikan gaji karyawan sebesar 20 %, setelah selama 3 tahun terakhir tidak ada kenaikan gaji dan banyak fasilitas yang dihapus akibat krisis moneter yang melanda dipenghujung tahun 1997. Tentu saja pengumuman itu disambut dengan penuh antusias oleh seluruh karyawan, tidak terkecuali para wartawan.

Singkat cerita, menjelang pertengahan tahun itu, keluarlah SK pimpinan yang menetapkan besaran kenaikan gaji masing-masing karyawan. Segera saja timbul kehebohan yang merata ke semua sudut kantor majalah SWA, ketika, setelah dihitung-hitung ternyata kenaikannya tidak sampai 20 %. Beberapa aktivis “dadakan” (sebelumnya tak seorang karyawanpun punya pengalaman dengan serikat pekerja), segera saja mengolah isu tersebut dengan menghembuskan isu tentang kebutuhan bersama untuk membentuk sebuah lembaga yang memperjuangkan kepentingan karyawan. Maka lahirlah FKS.


Tantangan Eksternal

Tantangan eksternal yang langsung tentunya datang dari pengusaha atau tim manajemen di mana para pekerja media itu bekerja. Umumnya pengusaha memandang keberadaan serikat pekerja di perusahaannya adalah sebagai gangguan yang harus disingkirkan jauh-jauh. Hal ini tidak terlepas dari stigma yang memang sengaja dibangun pada masa rezim Orde Baru berkuasa, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mencegah kekuatan serikat buruh menjadi sebuah kekuatan sosial yang eksis. Cap sebagai “kiri” adalah satu stigma yang umum dikenakan pada gerakan serikat pekerja, yang biasanya dibayangkan sebagai anasir yang akan merusak tatanan yang ada.

Tantangan jenis ini sejatinya bukan milik para pekerja media saja. Saat ini tidak banyak pengusaha di Indonesia yang menyadari arti penting keberadaan sebuah serikat pekerja di perusahaan miliknya. Padahal di negara-negara maju keberadaan serikat pekerja sudah menjadi bagian dari kebutuhan perusahaan. Beberapa perusahaan besar di negara maju bahkan melepas satu dua karyawan dari pekerjaan rutin sehari-hari untuk menjadi chaplain --semacam wakil serikat buruh di perusahaan tersebut. Mereka bukanlah pengurus yayasan karyawan --yang sekedar mengurus sumbangan kelahiran, perkawinan, dan kematian atau jalan-jalan bareng maupun pertandingan tarik tambang futsal-- tapi sebagai penghubung antara sebuah kesatuan yang lebih kuat dengan manajemen perusahaan.7

Dalam kasus seperi ini perlu hendaknya digalang suatu kesepahaman permanen antara pengusaha dan pekerja, bahwa keberadaan sebuah serikat pekerja di perusahaan adalah suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak. Tanpa serikat buruh, yang terjadi adalah perselisihan atau pertengkaran serabutan dengan mengandalkan kekuatan masing-masing --kapital melawan anarki. Hasilnya kira-kira; borjuis menang secara legal formal --di dalam sebuah iklim penerapan undang-undang Ketenaga-kerjaan yang lemah--dan proletar menang dalam mengungkapkan kemarahan --di dalam iklim masyarakat yang lebih peduli pada citra diri.8

Tantangan eksternal berikutnya adalah datang dari arah dan perkembangan dunia bisnis media itu sendiri. Konglomerasi dalam bisnis media mulai dikenal di Indonesia, ketika majalah mingguan TEMPO (PT Grafitti Pers) mulai mengembangkan sayapnya di awal tahun 80 an. Dimulai dengan mendirikan majalah Zaman (alm) yang agak nyeni, lalu berturut-turut majalah Matra (gaya hidup pria), Medika (kesehatan) dan SWA (ekonomi). Bersamaan dengan itu, Kompas dengan bendera Kelompok-Kompas-Gramedia (KKG) meluaskan pula jaringannya hampir ke semua jenis media.

Pada awal pertumbuhannya, konglomerasi industri media relatif berdampak posistif bagi perluasan kesempatan kerja, yaitu dengan banyaknya perusahaan media baru yang didirikan. Namun pada perkembangan terakhir ini, konglomerasi di Indonesia berdampak sangat buruk bagi kaum pekerja. Jika semula arus modal meluas dengan banyaknya perusahaan-perusahaan media baru, maka saat ini arus modal justru mengerucut dengan semakin maraknya akusisi dan merger atas perusahaan-perusahaan media yang sudah ada sebelumnya. Terintegrasinya beberapa perusahaan sejenis ke dalam cengkeraman konglomerasi berdampak langsung pada, semakin memudahkan para pengusaha melakukan effisiensi tenaga kerja di perusahaannya. Itu berarti penyempitan kembali lapangan kerja.

Yang terakhir, dan mungkin yang terpenting adalah, semakin mengakarnya paham atau praktek-praktek ekonomi kapitalisme di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Upaya rezim Orde Baru untuk mengikis habis paham lain selain kapitalisme (dengan tameng “pancasilaisme”), utamanya paham sosialisme, agaknya telah membuahkan hasil yang sangat berarti. Saat ini paham sosialisme sudah dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi semua pihak, tidak hanya bagi kalangan pemilik modal, bahkan juga bagi kalangan pekerja yang sejatinya merupakan kalangan yang hendak diperjuangkan oleh paham sosialisme itu sendiri. Kebanyakan kaum pekerja saat ini sudah tidak lagi menyadari dirinya dieksploitasi. Umumnya mereka sudah sampai kepada anggapan bahwa, kenyataan hidup yang dialaminya sekarang ini adalah suatu keniscayaan yang patut diterima sebagai “nasib” yang datang dari Tuhan. Tidak banyak yang bisa menyadari bahwa “nasib” yang menimpanya adalah ulah manusia-manusia serakah kaum kapitalis itu.

Rendahnya kesadaran para pekerja untuk berserikat serta kerasnya penolakan para pemilik modal untuk menerima kehadiran serikat pekerja di perusahannya, dapatlah dianggap sebagai indikator yang menguatkan asumsi ini. Menurut data terakhir yang dimiliki Direktorat Pembinaan Hubungan Industrial – Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi9, saat ini ada 90 federasi serikat pekerja tingkat nasional, 38 di antaranya berafiliasi kepada 3 konfederasi yang ada, dengan jumlah total anggota serikat pekerja 3.405.615 orang. Jika ke 52 federasi yang tidak berafiliasi diasumikan memiliki tingkat unionisasi (pengorganisiran) yang sama, maka saat ini ada sekitar 9 juta pekerja yang tergabung pada 11.786 serikat pekerja tingkat basis (sudah termasuk PUK-PUK).

Jika dari 9 juta pekerja yang sudah bergabung ke dalam serikat-serikat pekerja di perusahaan masing-masing tersebut, dipilah lagi antara mereka yang memahami dengan baik makna hakiki dari perjuangan serikat pekerja dengan mereka yang hanya ikut-ikutan, tentu jumlahnya akan jauh berkurang lagi. Dan jika angka-angka tersebut dihadapkan pada jumlah angkatan kerja – yang menurut data BPS hingga Agustus 2008 berjumlah 111,95 juta, dan jumlah penduduk yang bekerja 102,55 juta, maka jelaslah jumlah pekerja yang sudah sadar berserikat sangatlah tidak memadai. Artinya apa? Artinya, masih diperlukan perjuangan panjang untuk meningkatkan jumlah anggota dan meningkatkan kesadaran pekerja akan arti penting perjuangan serikat pekerja, di dalam memenangkan pertarungan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan beradab.


IV. HARAPAN-HARAPAN YANG MUNGKIN

Dengan tantangan yang begitu kompleks sebagaimana diuraikan di atas, membangun sebuah federasi serikat pekerja media saat ini boleh jadi seperti hendak mendirikan tiang pancang pada tanah yang berlumpur. Meski kebebasan berserikat sudah dijamin negara melalui UU No. 21 tahun 2000, namun upaya untuk mendirikan serikat pekerja, dan juga federasi serikat pekerja tidaklah kemudian menjadi lebih mudah. Terlebih dengan makin derasnya arus paham neo-liberalisme dengan pohon besarnya globalisme, yang terus menerus berupaya meminimalkan peran negara di dalam praktek ekonomi nasional, turut pula “membonsai” setiap upaya yang dilakukan untuk pengorganisiran kaum pekerja.

“Seperti halnya banyak jalan mencapai kota Roma, banyak pula cara untuk mengatasi aneka penolakan pembentukan serikat pekerja”.10 Artinya, upaya untuk mewujudkan serikat pekerja dan federasi serikat pekerja yang kuat, tidak boleh pupus oleh beratnya tantangan-tantangan itu. Semangat untuk itu harus tetap dijaga, dan harapan bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, harus tetap dipelihara.

Harapan diperlukan guna mempertahankan semangat dari terpaan keputusasaan di dalam sebuah perjuangan panjang. Dalam hal ini setidaknya ada dua harapan yang dapat dicantelkan dalam kerangka berdirinya sebuah federasi serikat pekerja media.


1. Perjuangan Buruh Oleh Kaum Intelektual

Sejauh ini gerakan serikat pekerja selalu identik dengan gerakan para buruh/pekerja pada sektor manufaktur. Meski belakangan – pasca reformasi - mulai muncul serikat pekerja-serikat pekerja pada sektor jasa (pariwisata, hotel dan bank), namun hingga kini belum mampu menggeser imej “pabrik” pada gerakan serikat pekerja. Hal ini tidak lepas dari minimnya informasi serta pemberitaan dan pengungkapan mengenai kiprah gerakan - secara keseluruhan - di dalam ruang media publik kita.

Merujuk kepada karakteristik perusahaan di mana para pekerja media bekerja, industri media - berbeda dengan industri manufaktur atau jasa - mengandung nilai, pendapat, dan informasi tertentu yang bisa membawa pembaca atau konsumen terpengaruh atas isi media tersebut.11 Itu artinya, hasil kerja para pekerja media – khususnya jurnalis/wartawan – mengandung potensi yang besar di dalam mempengaruhi pola pikir dan wawasan masyarakat.

Dengan kata lain, masuknya pekerja media ke dalam kancah perjuangan buruh – dengan berdirinya federasi serikat pekerja media, dapatlah diharapkan sebagai awal masuknya kaum intelektual ke dalam gerakan buruh. Yang pada gilirannya nanti ikut merobah citra gerakan buruh yang “pabrik” tadi.


2. Sebagai Corong Gerakan Buruh

Memang, dan tak perlu disangkal, bahwa hingga kini posisi-posisi kunci dalam kebijakan redaksional perusahaan-perusahaan media yang ada, masih didominasi oleh wartawan-wartawan yang tidak begitu bersahabat dengan gerakan serikat pekerja. Hal ini dapat dimaklumi. Dengan semakin terintegrasinya perusahaan-perusahaan media ke dalam jaringan korporasi, maka pilihan yang aman bagi wartawan untuk tetap bercokol pada posisi-posisi kunci, adalah mengabdi pada kepentingan pemilik modal. Sehingga wacana mengenai sosialisme dan gerakan buruh sebagai instrumen perjuangannya tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Nantinya, seiring dengan semakin menguatnya posisi tawar (bargaining position) pekerja media di hadapan pemilik modal – salah satunya dengan mendirikan federasi serikat pekerja media, diharapkan kondisi ini dapat berobah. Dalam hal ini diperlukan suatu koalisi strategis dengan gerakan buruh sektor manufaktur, yang secara historis memang memiliki potensi besar dalam hal mobilisasi massa. Melalui suatu aksi massa yang masif, tentunya tidak sulit untuk menempatkan wartawan-wartawan progresif pada posisi kunci dalam kebijakan redaksional perusahaan-perusahaan media. Yang pada gilirannya dapat memberikan ruang yang lebih besar pada wacana-wacana sosialisme dan perburuhan di media tempatnya bekerja.

Hanya perlu sekali digarisbawahi di sini, bahwa di dalam koalisi ini hendaknya dibangun suatu kesepahaman yang mengikat. Bisa berupa perjanjian atau traktat dengan sanksi-sanksi yang jelas, guna menghindari kecurigaan dan pengkhianatan di kemudian hari. Atau, bahkan, membangun sebuah konfederasi baru dengan aturan main yang jelas dan adil. Yang tidak hanya bertujuan untuk sekedar dapat mengirimkan wakilnya pada lembaga tripartit nasional, akan tetapi lebih dari itu, memulai suatu perjuangan ke arah perobahan sosial yang signifikan.


V. KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

Federasi serikat pekerja media memang perlu untuk segera didirikan. Betapapun kompleksnya tantangan untuk itu. Tidak seorangpun dapat menjamin bahwa kondisi lima atau sepuluh tahun mendatang akan lebih baik dari sekarang.

Disamping sebagai representasi pekerja media pada lembaga tripartit nasional dan gerakan buruh Indonesia, federasi serikat pekerja media dibutuhkan saat ini juga adalah, untuk sesegera mungkin melakukan konsolidasi internal ke dalam serikat pekerja-serikat pekerja media yang ada, yang ada tetapi sedang “mati suri”, atau yang bahkan masih berupa embriyo. Tak dapat disangkal bahwa untuk itu diperlukan effort yang lebih serta semangat yang tak kenal menyerah dari para aktivis dan penggeraknya.

Federasi serikat pekerja media dibutuhkan saat ini juga, terutama sekali adalah guna membendung arus liar korporatisme industri media yang kian menggila. Kekuatan modal yang intimidatif dari arus korporasi media, hanya dapat diimbangi atau dibendung oleh kekuatan soliditas para pekerja media. Semakin banyak anggota federasi akan semakin besarlah kemampuannya untuk membendung dan mengeliminir dampak negatif korporasi media.

Guna membangun federasi serikat pekerja yang kuat, beberapa saran berikut ini mungkin perlu dipertimbangkan oleh para aktivis dan penggeraknya.

1. Federasi serikat pekerja media haruslah merepresentasikan kepentingan bersama dari serikat pekerja-serikat pekerja yang bergabung di dalamnya.

2. Program kerja organisasi hendaklah disusun secara terpadu dan tearah, berdasarkan kebutuhan bersama yang kongkrit, baik untuk kebutuhan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.

3. Jadikan perluasan keanggotaan sebagai prioritas utama di dalam program kerja jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.

4. Untuk menjaga independensi gerakan, federasi serikat pekerja media haruslah seyogyanya mampu menggalang dana dari dalam, melalui iuran anggota yang sistematis dan berkesinambungan.

5. Sebisa mungkin dibangun koalisi strategis dengan pihak-pihak diluar pekerja media, tidak saja dengan buruh manufaktur atau jasa, tetapi juga dengan gerakan-gerakan tani, nelayan, HAM, dll.






Catatan Kaki

1.____Wulandari, Sri “Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, Pustaka Rakjat, 1961”, http://bintangtenggara.multiply.com/journal/item/111, 2007

2.____Kusumandaru, Ken Budha “Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, sebuah tinjauan ringkas”, http://rendroprayogo.multiply.com/journal/item/16, 2008

3.____Tambunan, Rita Olivia dan Nurus S. Mufidah, “Sejumlah Isu dan Masalah Ketenagakerjaan di Sektor Media: Pengantar Diskusi”, disampaikan pada workshop AJI Indonesia, 2008

4.____Dari http://ab-fisip-upnyk.com/files/Daftar-Nama-Serikat-Pekerja.pdf

5.____Jakarta, AJI “Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia”, www.aji-jakarta.org, 2002

6.____Ibid.

7.____Tambunan, Rita Olivia dan Nurus S. Mufidah, op.cit.

8.____Siregar, Liston P “Kompas dan Serikat Pekerja”, http://fspmipemi.multiply.com/ journal/item/8, 2007

9.____Ibid.

10.____HW “Audiensi anggota LKS Tripartit Nasional dengan Presiden RI”, berita headline pada http://phi-jsk-nakertrans.net/detailberita.asp?id=1795

11____Yusron, Ulin Ni’am, dkk. “Pengorganisiran Serikat Pekerja Pers”, AJI Indonesia, 2005.

12____Haryanto, Ign. “Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap Demokrasi” http://wisat.multiply.com/journal/item/23, 2006